Perilaku Konsumen Masa Mendatang

Geometry-Pelanggan_Masa_Depan-Cover.jpg

Zaman terus berubah. Tidak ada satu tren yang terus bertahan dan tak lekang oleh waktu. Alasannya tidak lain karena situasi hidup manusia yang terus mengalami perubahan sehingga perilakunya dari masa ke masa mengalami dinamika. Begitulah perilaku manusia. Bagai air, ia dapat mengikuti wadahnya. Seperti contohnya sekarang ini ketika masyarakat harus menghadapi pandemi. Dapat dipastikan perilaku mayoritas orang tidak lagi sama dengan sebelumnya.

Sudah menjadi tugas para pebisnis atau marketer untuk menganalisa perilaku konsumen secara umum. Ini perlu dilakukan agar sebuah brand dapat merancang strategi marketing yang tepat sasaran. Bahkan biasanya prediksi perilaku konsumen sudah harus dilakukan dari jauh hari. Seperti jurnal yang dibuat oleh WGSN, sebuah perusahaan yang menyediakan data sebagai landasan prediksi tren, tentang prediksi perilaku konsumen di tahun 2022. Sang direktur, Andrea Bell, merangkum kecenderungan perilaku serta profil konsumen di dua tahun ke depan untuk menjadi jendela bagi para pebisnis mencari celah kesempatan serta menghindari tantangan. 

Ia menemukan terdapat empat kecenderungan perilaku yang ditunjukkan oleh para calon konsumen di 2020:

Menyimpan Keresahan Terhadap Lingkungan dan Ekonomi

Sedari dulu masyarakat sebenarnya tidak pernah lepas dari keresahan. Di zaman penjajahan, masyarakat resah memikirkan apakah negaranya akan merdeka atau tidak. Kini masyarakat memiliki keresahan yang lain yaitu soal lingkungan dan ekonomi. Beberapa tahun belakangan isu pemanasan global terus berusaha diperangi oleh sejumlah pihak. Bahkan anak-anak remaja sudah turun ke jalan, meminta para petinggi negara mencari langkah mengatasinya. Sebut saja Greta Thunberg, seorang remaja asal Swedia yang melancarkan gerakan #SchoolStrike4Climate dan #FridaysforFuture. Juga Melati Wijsen, aktivis muda dari Indonesia yang mendirikan organisasi lingkungan Bye Bye Plastic Bags. Mereka adalah sampel dari generasi Z yang sudah memasuki usia sebagai penentu keputusan dan mereka adalah calon pelanggan di masa depan. Sehingga keresahan yang mereka miliki sebenarnya merepresentasikan keresahan dari banyak orang lainnya.

Tidak berbeda dengan keresahan terhadap ekonomi. Sejatinya generasi-generasi sebelumnya telah merasakan guncangan ketidakstabilan ekonomi. Meskipun mungkin kondisi ekonomi global belum mengalami resesi besar-besaran, tapi keresahan akan masalah finansial tetap terjadi akibat keberadaan dunia digital. Fenomena ini disebut emotional contagion atau penularan emosi. Lewat konten media sosial, artikel di berbagai situs dan saluran-saluran daring lainnya masyarakat dapat dengan mudah terpengaruh oleh informasi yang dapat membuat mereka overthinking dan anxiety. Apalagi dengan banyaknya tayangan masyarakat yang karena COVID-19 kehilangan pekerjaan dan kekurangan pemasukan.

Lebih Individualis

Lagi-lagi karena hadirnya teknologi yang mempermudah hidup kita, masyarakat memiliki begitu banyak akses untuk melakukan kegiatan tanpa harus keluar rumah. Bekerja di rumah, memesan makanan dengan aplikasi, hingga berbelanja online, akan menjadi gaya hidup di masa depan. Masyarakat tidak lagi punya laju mobilitas yang serupa. Jam kantor menjadi lebih fleksibel, begitu juga hari libur. Tidak ada pola kehidupan antar individu yang sama seperti dahulu kala. Akibatnya, interaksi sosial akan berkurang dan digantikan dengan individualisme.

Menghidupi Optimisme yang Radikal

Meskipun begitu, konsumen di masa depan diprediksi akan jauh lebih optimis dibandingkan hari ini. Tahun 2020 sepertinya cukup banyak memberikan mereka rasa marah dan takut. Sehingga mereka hendak mengubah awan kelabu tersebut menjadi langit biru. Mereka dipercaya memiliki opini yang lebih objektif sebab adanya keinginan untuk keluar dari paparan media yang terus-menerus memaparkan hal-hal negatif di tahun-tahun sebelumnya. Mereka tidak hanya sekadar memiliki optimisme melainkan optimisme yang radikal untuk mengubah situasi.

Memiliki Ketahanan Daya Juang

Bak batu bara yang semakin ditempa semakin menghasilkan energi yang berkualitas, para konsumen masa depan juga mencerminkan hal yang serupa. Sepertinya ketidakpastian yang hadir di tahun 2020 telah menjadi pelajaran berharga bagi mereka agar tidak lagi terulang di masa depan. Dari segala kesulitan yang telah dihadapi dan dilewati, mereka dipertimbangkan akan memiliki ketahanan untuk berjuang lebih tinggi. 

Memahami adanya kecenderungan-kecenderungan tersebut lalu strategi apa yang dapat memenuhi kebutuhan mereka agar kemudian menjadi pelanggan sebuah brand?

Pertama adalah menerapkan konsep yang sederhana. Konsumen masa depan khususnya para generasi Milenial dan Gen X telah terlalu lama gusar dengan ketidakstabilan dan ketidakpastian. Inilah yang mendorong mereka untuk mencari sesuatu yang dapat membuat mereka berkembang dan memiliki hidup nan optimal di berbagai aspek. Untuk mereka yang disebut The Stabilisers ini baiknya berikanlah konsep yang sederhana dengan sistem pembelian yang mudah, produk yang sudah dikurasi yang mempermudah mereka menentukan pilihan. Upayakan untuk menghadirkan suasana yang menenangkan baik di dalam toko atau di tampilan situs bahkan desain produk. Gunakan warna-warna netral tanpa banyak pernak-pernik yang tidak esensial.

Kedua, sematkan nilai sosial dalam DNA brand. Mereka yang disebut The Settlers adalah orang-orang yang memiliki keresahan akan lingkungan, ekonomi, juga memiliki ketidakterbatasan waktu kerja. Maka dari itu, sebaiknya brand mulai memikirkan product campaign yang memiliki nilai sosial tinggi. Misalnya dengan menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dalam produk atau mengadakan gerakan-gerakan sosial. Selain itu membawa nilai-nilai kearifan lokal juga dianggap penting karena mereka yang resah akan kondisi ekonomi akan memikirkan cara untuk berkontribusi menyelesaikan masalah tersebut. Beralih ke produk lokal dipercaya jadi salah satu solusinya.

Terakhir, lancarkan strategi digital yang terintegrasi. Sebentar lagi kita akan menghadapi era post demographic di mana tidak ada lagi demografi umur untuk menentukan pasar. Dunia digital yang ditujukan untuk segala umur membantu para brand untuk memiliki pelanggan dari segala rentang usia. Memahami ini, strategi digital disinyalir harus lebih diperkuat. The Optimist, label untuk konsumen yang memiliki optimisme radikal, membutuhkan sesuatu yang mempermudah mereka menjadi omnipresent atau berada di mana pun. Misal, mengadakan acara-acara live streaming sehingga mereka menikmati satu informasi dengan semua orang yang ada di dunia dalam waktu yang bersamaan.

The Optimist juga orang-orang yang memiliki kecenderungan individualis dengan produktivitas yang tinggi di rumah. Mereka memerlukan fasilitas yang memudahkan mereka mendapatkan produk dalam waktu singkat dan cara yang simpel. Dalam hal ini hyperlocal marketing adalah kuncinya. Pemesanan dan pengantaran dalam hitungan jam bahkan puluhan menit saja amat dibutuhkan. Sistem aplikasi online yang mengantarkan makanan atau barang belanjaan seperti Grab atau Gojek dapat menjadi contoh untuk brand lain mulai menggodok gagasan yang serupa.

Previous
Previous

Geometry Selects: Yang Alami Untuk Rambut

Next
Next

Green Is Always In: Bisnis Tanaman Hias (Bagian Kedua)