Green Is Always In: Bisnis Tanaman Hias (Bagian Kedua)

Geometry-Plant_Business-02.jpg

Belakangan ini, salah satu tren yang tengah naik daun di kalangan anak muda adalah penggunaan tanaman hias di dalam rumah. Mulai dari penempatan tanaman di kamar pribadi, ruang kerja, hingga sudut rumah yang mungkin tidak umum ditempatkan tanaman seperti kamar mandi, kini tidak menutup kemungkinan menjelma menjadi ‘urban jungle’. Terdapat kebanggaan tersendiri rasanya bisa melihat tanaman-tanaman hias tersebut tumbuh dan bertahan hidup, serta secara padu  menghiasi setiap sudut ruangan dengan berbagai macam bentuk pot. Tidak sedikit kemudian banyak di antara mereka yang lantas menjadi kolektor tanaman, dan mendalami minat mereka di bidang ini lebih lanjut dengan membuat plant business sendiri.  

Salah satu di antaranya adalah Jeff Oneal, Frans Muller, dan Paulus, tiga sosok yang berada di balik brand Kultivar, sebuah plant shop yang menjual selective indoor house plants. “Latar belakang kami bertiga adalah wedding photographer, namun kami sama-sama memiliki hobi terhadap tanaman dan memelihara banyak tanaman di rumah,” sebut mereka memulai pembicaraan dengan Geometry. “Konsep awal kami membentuk Kultivar adalah untuk membentuk komunitas berkebun yang dapat menyebarkan knowledge dan vibes positif mengenai tanaman ke banyak orang, terutama mereka yang seumuran. Karena saat kami menjadi kolektor tanaman, kami benar-benar belajar sendiri mengenai pembibitan dan lain sebagainya karena kadang, orang enggan berbagi ilmu.”

Photo Courtesy of Kultivar

Photo Courtesy of Kultivar

Kaktus, succulent, dan dessert plants, adalah tiga jenis tanaman yang dijual oleh Kultivar melalui toko mereka yang berlokasi di Kumulo, BSD. Pemilihan ketiga jenis tanaman tersebut sebagai produk yang ditawarkan sebenarnya didasari akan minat mereka bertiga terhadap tanaman jenis tersebut. “Setiap tanaman sebetulnya mudah perawatannya asal kita mengerti. Namun, memang sedari awal kami senang serta cocok dengan succulent dan dessert plants. Oleh karenanya, kami tidak dahulu menjual tanaman jenis aroid atau tropical plants di Kultivar,” terang mereka melanjutkan. “Apalagi, kami adalah consignment store yang menjual tanaman dari berbagai sumber yang kita kurasi. Tentu kami harus merawat tanaman mereka setiap harinya. Bila kita ingin membuat bisnis, pilih bidang atau sesuatu yang kita senangi dan kuasai.”

Jenis tanaman yang ditawarkan Kultivar cukup unik, secara penampilan estetis, dan terkadang belum umum dijumpai di tempat lain, dengan price point di level medium hingga high. “Kami ingin agar orang lebih menghargai tanaman yang dibeli. Bila kita misalnya membeli tanaman di pinggir jalan seharga 10 hingga 15 ribu, kita merasa tidak memiliki beban bila tanaman tersebut mati karena kita bisa berpikiran tinggal membeli lagi bila hal itu terjadi,” jelas mereka menerangkan. “Walaupun kami memiliki toko online, tapi sebenarnya karena perputaran tanaman kami cukup cepat, apa yang terdapat di online belum tentu mencakup semua koleksi kami. Kami pun agak jarang upload foto produk secara online karena kami ingin orang datang langsung ke toko agar kami bisa jelaskan  langsung dan memilihkan tanaman yang sesuai dengannya.”

Photo Courtesy of Kultivar

Photo Courtesy of Kultivar

Dengan jenis tanaman yang dijual yang umumnya berukuran tidak terlalu besar serta terbiasa kering, sistem pengirimannya pun menjadi relatif lebih mudah. Akan tetapi, umum bagi tanaman bila mengalami proses pengiriman yang agak cukup panjang, akan mengalami masa ‘stress’ setibanya di lokasi baru karena perlu beradaptasi. Misalnya dengan layu beberapa daunnya.  Bagi pembeli yang telah terbiasa membeli dan memelihara tanaman, hal ini sudah dapat dipahami. Namun untuk mereka yang baru memulai, bisa saja hal ini mengakibatkan kebingungan. Untuk itulah Kultivar selalu menyediakan layanan after sales dengan menerima konsultasi terkait dengan perawatan tanaman yang dibeli.

“Bila kita ingin membeli tanaman, riset terlebih dahulu akan ditaruh di mana tanaman tersebut, baru mencari tanaman yang cocok. Jangan membeli tanaman karena asal lucu saja, lalu sampai rumah bingung menaruh di mana, lalu tanaman mati karena diletakan di tempat yang tidak sesuai,” ujar mereka memberi saran. “Plant business is a very big business dengan banyaknya peluang. Akan tetapi, jangan masuk ke bisnis ini bila kita belum mengerti tanaman karena tanaman memiliki risiko untuk mati. Good business needs to be careful.” Peluang usaha di bidang tanaman memang sangat luas dan tidak terbatas pada ritel saja, walaupun memang model bisnis ritel adalah yang paling umum ditemui.

Plant business is a very big business dengan banyaknya peluang. Akan tetapi, jangan masuk ke bisnis ini bila kita belum mengerti tanaman karena tanaman memiliki risiko untuk mati. Good business needs to be careful.”

Didirikan oleh Sugiharto “Ogie” dan rekannya, Satya Putra, Larch Studio merupakan studio kreatif dengan basis Jakarta dan Bandung yang banyak mengerjakan proyek landscape design.  Tidak terbatas pada itu, Larch Studio pun turut mengerjakan  built and maintenance, serta interior design dan décor untuk sejumlah acara. Selain itu, Larch Studio pun memiliki lini bisnis ritel, Tanema, yang menjual beragam tanaman dalam pot dan juga aksesorisnya.

Saat Larch Studio berdiri di tahun 2015, kebutuhan akan landscape design dengan penempatan tanaman di dalam ruangan dan segala tempat belum begitu popular. “Awalnya, klien cukup kaget karena kita mengenakan design dan conceptual fee dalam pengerjaan sehingga harga yang ditawarkan agak tinggi. Tapi, klien kami yang berasal dari hospitality dan F&B industry, seperti Ismaya dan Potato Head, lebih memahami desain. Jadi, yang membesarkan kami adalah teman-teman dari industri ini,” terang Satya. ”Dari sini, barulah beberapa residensial dan klien personal mencoba memakai jasa kita dengan design dan conceptual fee.”

Photo Courtesy of Larch Studio

Photo Courtesy of Larch Studio

Satya menjelaskan, yang membedakan Larch Studio dari pekerja tanaman biasa adalah, selain membuat desain, Larch Studio akan memastikan tanaman hidup sehat dan dapat bertahan di area yang mereka tanam, sehingga trial and error lebih minim terjadi. “Kami memiliki garansi tanaman hidup di situ selama SOP dilaksanakan dengan baik,” lanjutnya. Sebelum pekerjaan dilakukan, terlebih dahulu Larch Studio akan melakukan koordinasi dengan desainer interior dan arsitek yang klien gunakan untuk mengetahui arahan tema serta mood yang diangkat. Tidak kalah penting, adalah terlebih dahulu mengetahui apakah bangunan yang dikerjakan menggunakan feng shui atau tidak. Dari arahan-arahan tersebut, barulah Larch Studio akan mengimplementasikan keinginan klien, arsitek, dan desainer interior yang bekerjasama.

Latar belakang pendidikan Satya adalah biologi. Usai pendidikan ia lantas mengambil course di Singapura mengenai plant management dan desain taman, dan setelahnya bekerja sebagai Plant Development & Project di Gardens by the Bay dan Botanical Garden selama dua tahun, sebelum kemudian bergabung di Larch Studio di tahun kedua studio ini berdiri. Ia menyebutkan, sebagian besar proyek yang dikerjakan Larch Studio, perawatannya dikerjakan oleh Larch Maintenance, salah satu divisi dari studio ini. Setiap minggu atau beberapa kali dalam seminggu, tim dari Larch Maintenance akan melakukan rotasi tanaman, pemotongan, pemupukan, penyiraman, dan lain sebagainya untuk merawat tanaman. Selain melakukan perawatan terhadap proyek yang dikerjakan Larch Studio, Larch Maintenance pun dapat mengerjakan perawatan tanaman di berbagai tempat lainnya. Ini juga merupakan salah satu potensi bisnis besar bila kita ingin merambah ke dunia pertamanan. Selain itu, dari segi landscape design sendiri, Satya mengakui masih sedikit pemainnya di dalam negeri. Ia menyebutkan, kompetitor Larch Studio merupakan studio landscape design yang berada di luar atau di Bali. Sehingga, masih terdapat peluang besar terbuka untuk menggarap bidang ini. 

Photo Courtesy of Larch Studio

Photo Courtesy of Larch Studio

Untuk memperoleh tanaman yang digunakan, Larch Studio memiliki beberapa tempat pembibitan pribadi di Lembang, Bogor, dan Puncak. Akan tetapi, karena demand yang ada semakin tinggi, mereka pun menjalin kerjasama dengan petani di Puncak, Magelang, Malang, dan beberapa lokasi lainnya. “Kerjasamanya kita akan menanam selama enam bulan di tempat petani ini, lalu kemudian kita ambil. Jadi kita set the type of plants dan timeline-nya,” lanjut Satya menjelaskan.

Apakah perlu memiliki pembibitan sendiri atau tidak untuk memperoleh sumber tanaman, Satya menerangkan sebenarnya tergantung dari model bisnis yang diangkat. “Kalau kolektor tanaman, mereka bisa menjual sendiri tanaman yang sudah mereka propagasi dengan harga lebih murah dan kualitas lebih baik. Tapi, kebanyakan kuantitas yang diperoleh tidak banyak,” sebutnya. “Beberapa plant shop yang khusus menjual tanaman, mereka pasti mengambil tanaman dari luar juga karena demand yang banyak. Tidak mungkin menanam semua tanaman. Bagi saya, the best one adalah menggabungkan antara menanam sendiri dan mengambil tanaman dari luar.”

Sebagai tambahan, selain berbagai lini bisnis yang telah disebutkan di atas, Larch Studio pun juga melakukan ekspor tanaman ke Berlin, Jerman untuk dijual kembali. “Ada divisi khusus, Larch Studio Berlin, di mana kita ada representatif di sana untuk menjual tanaman-tanaman yang dikirimkan, ”ujar Satya mengakhiri penjelasannya.





Previous
Previous

Perilaku Konsumen Masa Mendatang

Next
Next

Hom Lab: Eksplorasi Cangkang Telur