WFH, Susah Di Komunikasi Atau Adaptasi?

Geometry-Remote_Working.jpg

Cara bekerja kita di era pandemi memang sudah sangat bertransformasi. Perubahan terbesarnya adalah keharusan untuk kerja dari rumah. Bagi mereka yang tidak terbiasa kerja remote pasti butuh waktu untuk bisa beradaptasi agar tetap produktif. Salah-salah, bekerja di rumah bisa terasa seperti “liburan” atau sebaliknya seperti toko 24 jam yang terus bekerja tanpa henti. 

Metode bekerja dari rumah memang tidak luput dari berbagai tantangan. Salah satunya adalah infrastruktur. Saat bekerja di rumah, kita bergantung kepada internet. Sayangnya, terkadang jaringan internet tidak bisa selalu dipastikan stabil. Apalagi jika rumah kita berada di lokasi dengan provider yang terbatas. Sudah pasti ini bisa buat produktivitas kita menurun. Bahkan terkadang stres karena kesulitan berkomunikasi dan menyelesaikan pekerjaan. Oleh sebab itu, komunikasi dua arah dengan atasan atau representasi perusahaan diperlukan. Utarakanlah apa yang jadi kendala selama bekerja di rumah dan coba berkompromi dengan perusahaan.

Kendala kedua adalah distraksi di lingkungan rumah. Bekerja dari rumah memang membuat kita seakan bisa lebih santai seperti tidak perlu mengenakan pakaian kantor. Tapi kekurangannya adalah kegiatan profesional dan personal akan bercampur dalam satu waktu. Apalagi jika memiliki anak yang juga belajar di rumah. Inilah yang harus kita cari solusinya apakah harus mempekerjakan pengurus rumah tangga atau baby sitter? Tentunya harus didiskusikan bersama dengan anggota keluarga lainnya.

Pada dasarnya, bekerja di rumah dan di kantor prinsipnya sama. Kita tetap harus memenuhi tanggung jawab dari deskripsi pekerjaan. Jadi jika ingin menjaga kepercayaan perusahaan selama work from home  (WFH), kita harus berupaya menempatkan diri dalam sistem kerja selayaknya work from office (WFO). Seperti juga yang dipaparkan oleh Samuel Ray, seorang praktisi human resources.  “Membuat sistem adalah kunci pertama menjaga kepercayaan antara karyawan dan perusahaan. Sistem di sini maksudnya adalah pengaturan jadwal bekerja dan kegiatan lainnya. Misalnya setiap jam 9 pagi akan ada meeting singkat untuk diskusi pekerjaan apa saja yang harus dilakukan hari itu.” Terangnya.

Menurut Sam, agar karyawan tetap merasa bekerja seperti biasanya, di akhir waktu bekerja butuh diadakan acara guyub. Contohnya dengan mengadakan zoom party setiap Hari Jumat, atau seminar kecil-kecilan yang menyatukan anggota tim dalam satu layar. Dengan demikian, kita dapat tetap terhubung dengan para kolega dan atasan selayaknya di kantor. Sam pun menambahkan, “Dengan adanya sistem tersebut, kita tahu meski bekerja dari rumah tapi kita masih memiliki ekspektasi yang sama, organisasi tetap berjalan, dan bisa bertemu dengan teman-teman kantor. Jadi kita tahu ada di satu struktur.”

Di samping itu, dengan membuat sistem kita juga membuat infrastruktur agar dapat bekerja dalam kurun waktu tertentu saja. Waktu masuk kantor, makan siang, dan pulang kantor yang sama. Jadi bekerja di rumah bukan berarti bekerja 24 jam. Pentingnya kita mengatur waktu kapan bekerja, kapan selesai dan melakukan kegiatan pribadi dapat membantu kita tetap profesional. Kita jadi tidak mudah burnout dan justru akan lebih fokus. Maka, produktivitas dan profesionalisme juga terjaga demi memenuhi ekspektasi perusahaan atas posisi kita.

Kenyataannya, terdapat sebuah riset yang membuktikan dengan data yang jelas bahwa karyawan dapat lebih meningkatkan produktivitas ketika diberikan kebebasan untuk mengatur jadwalnya sendiri. Bahkan pegawai bank sekalipun dapat lebih produktif ketika bekerja dari rumah. Oleh sebab itu, agar perusahaan bisa merasa nyaman memberikan kepercayaan tersebut, kita pun harus bisa tetap menyelesaikan dan mencapai target pekerjaan seperti sebelum pandemi.

Previous
Previous

Tren Puzzle, Dari Hobi Jadi Bisnis

Next
Next

2021 Trends: Personalisasi Perawatan Tubuh