Setelah Bisnis Pecah Kongsi, Lalu Bagaimana?
Tantangan berperan penting untuk kemajuan sebuah bisnis. Para pebisnis bisa banyak belajar dari permasalahan yang timbul. Termasuk ketika sebuah bisnis mengalami pecah kongsi atau pemutusan hubungan kerjasama. Contoh yang dekat dengan keseharian kita adalah pecah kongsi beberapa rumah makan yang mengakibatkan adanya dua nama yang serupa. Ketika ini terjadi, tentu saja para pebisnis harus memikirkan kembali strategi marketing yang dapat mempertahankan usaha masing-masing tetap berjalan.
Rumah makan Ayam Goreng Ny. Suharti, misalnya, membuat logo baru dengan nama serupa setelah kedua pemiliknya bercerai. Sebelum bercerai, logo rumah makan ini berupa dua ayam dengan tulisan Ayam Goreng Ny. Suharti. Setelahnya, muncul logo baru yang dibuat oleh sang istri dengan wajah seorang wanita terpampang di logo dan tulisan “Ayam Goreng Suharti”. Meskipun begitu, diketahui bahwa resep khas ayam gorengnya tidak berubah di kedua restoran. Hanya brand identity dan lokasi restoran saja yang dibedakan. Kondisi ini dilakukan untuk mempertahankan cita rasa kedua restoran walaupun kepemilikannya sudah berbeda.
Berbeda dengan restoran steak Holycow. Seperti dilansir dari Marketeers, Chef Afit yang bekerjasama dengan seorang partner akhirnya terpaksa harus membangun ulang restorannya. Tidak seperti Ayam Goreng Suharti yang hanya mengubah logo dan lokasi, Chef Afit tidak hanya sekadar mengubah logo tapi juga tidak membagikan resep dengan partner lamanya. Ia bahkan menambahkan personal branding di logo baru Holycow miliknya menjadi Holycow! Steakhouse by Chef Afit. Sementara logo lama Holycow menjadi Steak Hotel by Holycow!. Hal ini tentunya bertujuan agar para pelanggan Holycow bisa membedakan menu yang dibuat oleh Chef Afit dan yang bukan.
Dalam perjalannya membangun branding restoran baru dengan nama yang serupa, Chef Afit meningkatkan brand awareness dengan mengadakan sayembara. Ia mengajak para follower untuk membantunya memilih logo Holycow yang baru. Menurutnya, langkah ini sekaligus memberikan konfirmasi tentang perpisahan kedua kubu sehingga para pelanggan menyadari perbedaan kedua restoran. Tidak bisa dipungkiri, ketika terjadi pecah kongsi tentu saja akan ada kompetisi di kedua pihak. Upaya kompetitif terutama dilakukan oleh pihak yang terpaksa membuka restoran baru.
Di sisi Chef Afit, ia harus menyusun strategi agar dengan konsep yang baru, pelanggan dari restoran pendahulu bisa turut mengikuti. Sebenarnya kurang lebih seperti membuat sebuah restoran baru. Bedanya, ia harus meyakinkan para pelanggan supaya tidak dipertimbangkan menjiplak konsep. Di mata hukum pun nama brand serupa masih bisa sama-sama berjalan. Asalkan ada perbedaan di setiap brand properties antara keduanya. Namun sayangnya, IP (Intellectual Property) untuk penyebutan nama gerai harus dibedakan. Chef Afit tidak lagi bisa menyebut nama gerainya Tempat Karnivora Pesta atau yang sering disebut TKP. Ia menggantinya dengan CAMP (CArnivores Meat-ing Point).
Kendati demikian, ketika dua perusahaan pecah kongsi, para pebisnis tetap harus menjalani pemutusan kerjasama secara profesional. Seperti pada kasus Chef Afit, ia memastikan untuk menggunakan jasa mediator bersertifikat serta notaris untuk membagi aset perusahaan dengan jelas. Selain itu, demi brand image yang baik para pebisnis juga sebaiknya tidak melancarkan propaganda yang menjatuhkan pihak lain. Sebaliknya, kompetisi di antara kedua bisnis ditujukan untuk peningkatan mutu dan pengembangan agar sama-sama bisa berjalan beriringan. Pada akhirnya, seperti konsep pasar sempurna, sekalipun produk yang dijual sama tapi pelanggan akan tetap bisa membedakannya dari pelayanan atau kenyamanan yang paling sesuai untuknya.