Pikachu jadi Ikon National Flag Carrier Indonesia, Bagaimana Nasib IP Lokal?

Saat Presiden Prabowo Dorong IP Lokal, BUMN dan Kemenekraf Justru Gunakan IP Asing

Ketika Garuda Indonesia memutuskan untuk menggandeng Pokemon sebagai bagian dari citra maskapainya, dengan menampilkan karakter-karakter ikonik seperti Pikachu di badan pesawatnya, reaksi masyarakat pun beragam. Memang, secara sekilas kolaborasi ini terlihat segar dan unik, menarik perhatian penggemar Pokemon di Indonesia dan bahkan di dunia. Tetapi, di balik kilauan karakter Jepang yang menggemaskan ini, ada satu pertanyaan besar: mengapa maskapai kebanggaan nasional kita, yang seharusnya merepresentasikan identitas Indonesia, justru memilih ikon budaya asing untuk mewakili dirinya?

Langkah ini bisa saja dilihat sebagai "jalan pintas" yang mungkin efektif dalam hal meningkatkan eksposur jangka pendek. Namun, penggunaan IP (Intellectual Property) asing justru menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana kita memperlakukan warisan budaya dan karakter-karakter lokal yang seharusnya bisa menjadi kebanggaan Indonesia. Mengapa kita, yang kaya akan budaya dan tradisi, tidak mengambil kesempatan untuk mengangkat karakter dan cerita khas Indonesia, yang sejatinya bisa menjadi daya tarik unik?

Kebangkitan Anime dan Strategi “Cool Japan”

Langkah Jepang dalam mengembangkan anime sebagai diplomasi budaya memang patut diakui. Antara tahun 2020 hingga 2022, industri anime Jepang tumbuh hingga 118% (data Parrot Analytics), membuktikan bahwa anime telah menjadi alat diplomasi budaya yang efektif. Melalui program Cool Japan, pemerintah Jepang mendukung penyebaran budaya pop mereka ke seluruh dunia, termasuk melalui kolaborasi dengan merek-merek besar. Sebagai contoh, McDonald’s sukses dengan kampanye "WcDonald's" yang menampilkan gerai bernuansa anime dengan karakter-karakter unik. Kampanye ini berhasil meningkatkan keterikatan pelanggan dan respons positif di media sosial hingga 25% lebih tinggi dibandingkan kampanye sebelumnya.

Kesuksesan Jepang menyebarkan pengaruh budayanya juga tercermin di Prancis, yang kini menjadi pasar manga terbesar di luar Jepang dengan penjualan manga mencapai 40 juta kopi pada tahun 2021. Pemerintah Prancis bahkan mendukung akses generasi muda terhadap budaya pop Jepang dengan memberikan French Cultural Pass senilai €300 untuk mengakses konten budaya termasuk manga dan anime. Melalui strategi diplomasi budaya ini, Jepang berhasil menempatkan anime dan manga sebagai bagian dari identitas global yang diterima luas.

IP Lokal yang Terabaikan di Tanah Sendiri

Indonesia memiliki segudang cerita rakyat, tokoh pewayangan, hingga mitologi yang kaya dan menarik. Bayangkan, jika Garuda Indonesia menggunakan tokoh seperti Gatotkaca, Hanoman, atau Garuda—ikon yang melekat dengan nilai-nilai sejarah dan kebudayaan kita—betapa bangganya kita memiliki maskapai yang berani menonjolkan kekayaan lokal. Gatotkaca, dengan julukannya sebagai "otot kawat tulang besi," memiliki keunikan tersendiri yang tak kalah keren dibanding Pikachu atau Charizard. Hanoman, tokoh kuat dari Ramayana, juga bisa menjadi inspirasi yang mencerminkan semangat dan keberanian.

Alih-alih memberi ruang pada karakter lokal, Garuda Indonesia justru memilih tokoh asing yang lebih dikenal oleh generasi muda. Tentu, Pokemon memiliki daya tarik global dan penggemar lintas negara. Tetapi apakah memilih karakter luar negeri adalah langkah yang benar untuk maskapai nasional yang seharusnya berfungsi sebagai perpanjangan tangan budaya Indonesia?

Dengan menampilkan Pikachu dan teman-temannya, Garuda Indonesia seolah mengabaikan potensi besar yang dimiliki oleh IP lokal untuk menjadi wajah maskapai nasional. Ini adalah sinyal bahwa di mata perusahaan nasional sebesar Garuda, ikon budaya lokal dianggap kurang "menjual" atau kurang relevan, padahal justru kita butuh langkah nyata untuk mengangkat identitas budaya sendiri. Jika perusahaan sekelas Garuda saja tidak mau mengambil langkah ini, lalu siapa lagi yang akan mempromosikan IP lokal di mata dunia?

"Jalan Pintas" yang Gagal Membangun Identitas Budaya

Kritik terhadap langkah ini semakin kuat ketika melihat bagaimana Jepang, lewat strategi "Cool Japan"-nya, berhasil menyebarkan pengaruh budayanya ke seluruh dunia dengan dukungan penuh dari pemerintah dan sektor swasta. Jepang mengerti betul bahwa membangun kekuatan budaya bukan hanya soal hiburan, tapi juga diplomasi budaya yang kuat. Mereka merangkul dan mengembangkan IP lokal mereka hingga bisa diterima dan dicintai global. Sebagai hasilnya, karakter seperti Pikachu kini menjadi duta budaya Jepang yang dikenal luas.

Jika Jepang berhasil mengangkat IP lokalnya hingga sebesar ini, mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama dengan budaya dan cerita lokal kita? Memilih Pokemon adalah langkah nyaman dan mudah, tetapi itu hanya menunjukkan ketergantungan kita pada popularitas budaya asing alih-alih membangun kekuatan kita sendiri. Bukannya memperkenalkan karakter Indonesia kepada dunia, kita malah menjadi "pasif" dan menumpang popularitas negara lain.

Peluang yang Terbuang

Indonesia memiliki sejarah panjang dan tradisi yang kaya, yang jika dikelola dengan baik, sebenarnya berpotensi untuk menjadi karakter atau ikon yang tak kalah menarik. Dari cerita rakyat, mitologi, hingga legenda, semua ini adalah sumber inspirasi untuk membangun IP yang kuat. Dengan langkah yang tepat, karakter-karakter ini bukan hanya akan menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga dapat dipromosikan hingga dikenal di luar negeri.

Bukan hanya Garuda Indonesia, sektor lain di Indonesia pun seharusnya mulai merangkul IP lokal sebagai bentuk promosi budaya. Pariwisata, produk fesyen, hingga maskapai nasional harus bisa bekerja sama dengan industri kreatif untuk membangun dan mengangkat karakter Indonesia menjadi daya tarik yang bisa diperkenalkan pada dunia.

Kebanggaan Nasional yang Seharusnya Ditegakkan

Sebagai national flag carrier, Garuda Indonesia seharusnya memiliki tanggung jawab untuk membawa citra Indonesia ke dunia, bukan sekadar meningkatkan popularitas lewat cara instan. Jika Garuda bisa memilih IP lokal, ini akan menjadi langkah nyata untuk mendukung diplomasi budaya yang kuat. Sayangnya, memilih Pokemon malah mengindikasikan ketidakpercayaan terhadap daya jual dan daya tarik dari ikon-ikon budaya kita sendiri.

Ketika pemerintah Prancis mendukung akses anak muda mereka terhadap budaya Jepang lewat French Cultural Pass senilai €300, mereka menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap budaya asing. Tapi, di sisi lain, Jepang bisa sampai pada tahap ini karena mereka konsisten memperkenalkan IP lokalnya ke dunia. Saat ini, kita malah mengabaikan potensi besar itu dan memilih menumpang pada popularitas budaya asing.

Saatnya Memprioritaskan Identitas Budaya Sendiri

Garuda Indonesia memilih jalan pintas dengan memanfaatkan popularitas Pokemon, tetapi langkah ini mengabaikan tanggung jawabnya sebagai ikon nasional. Sebagai bangsa yang kaya akan budaya, kita seharusnya punya keberanian untuk mengangkat IP lokal yang bisa menjadi simbol kebanggaan kita di panggung internasional. Jika terus bergantung pada IP asing, bagaimana kita bisa berharap agar dunia mengenal dan menghargai budaya kita?

Kini saatnya kita mendukung dan mendorong karakter lokal menjadi ikon nasional, yang bisa menjadi kebanggaan di panggung internasional. Dengan kreativitas, kerja sama, dan dukungan yang tepat, IP lokal Indonesia juga bisa menjadi fenomena global.

Previous
Previous

Catch Me If You Can: The Musical, Teater Musikal yang Siap Mengguncang Jakarta dan Merayakan Makna Keluarga

Next
Next

Catatan Menarik dari Jakarta Doodle Fest 2024: Artwork, Zine, hingga Proses Kreatif di Balik Cover Majalah Tempo