Optimisasi LinkedIn Untuk Personal Branding
Sejak 18 tahun lalu, LinkedIn sudah jadi jejaring sosial yang membantu penggunanya mencari pekerjaan. Para pencari kerja dapat menyebarkan CV dan resume ke jaringan yang lebih luas serta membangun koneksi dengan para profesional dan praktisi di bidangnya untuk membuka berbagai kesempatan baru. Tapi seiring berjalannya waktu, LinkedIn sebenarnya punya fungsi yang lebih dari itu. LinkedIn bisa bangun personal branding para pencari kerja untuk “menjual” kualitas dan kemampuan mereka lebih dari sekadar yang tertulis di CV atau resume.
Arfiana Maulina, kreator konten LinkedIn, menyatakan bahwa LinkedIn dapat menjadi jejaring sosial yang memberikan pengaruh besar kepada para penggunanya dalam rangka meningkatkan jenjang karier. “Kalau aktif di LinkedIn, rajin membuat postingan, memperbarui halaman LinkedIn setiap kali ada pengalaman baru, serta rajin berkoneksi, para pengguna akan mendapatkan lebih banyak eksposur untuk bertemu dengan perusahaan atau pemberi pekerjaan yang potensial”, jelas Arfiana.
LinkedIn juga dapat menjadi platform berkarya dalam tujuannya untuk mempercantik identitas profesional. Bahkan, sekalipun penggunanya belum memiliki pengalaman profesional, mahasiswa misalnya, mereka tetap dapat membangun personal branding di jejaring sosial yang sudah menjadi bagian dari Microsoft ini.
Pertama, yang perlu dilakukan oleh para pengguna adalah meneliti segala macam fitur yang ada di dalam LinkedIn. Dengan begitu, ia dapat mengetahui apa saja yang perlu dimaksimalkan. Misalnya di bagian headline, hanya menulis undergraduate student dengan jurusan saja dapat terlihat kurang atraktif. Jika pengguna (khususnya mahasiswa yang belum pernah punya pengalaman kerja) ingin dilirik oleh para pencari talenta, baiknya tuliskan beberapa label yang lebih atraktif semisal mahasiswa berprestasi yang tertarik pada bidang teknologi dan sains. Kemudian, tampilan halaman LinkedIn juga tidak kalah penting. Pakailah foto profil yang menarik dan pastikan tidak buram. Arfiana berpendapat bahwa foto dengan latar belakang polos yang menampilkan pengguna dalam ukuran setengah badan, dapat memperlihatkan profil yang menarik dan tetap profesional. Di samping itu, bagian banner di paling atas halaman juga dapat dioptimalkan dengan memberikan gambar yang relevan.
Kedua, untuk para mahasiswa yang belum punya pengalaman kerja dapat menuliskan pengalaman berorganisasi selama kuliah atau sekolah di SMA. Sekecil apa pun perannya, bisa menjadi poin tambah untuk membangun personal branding. Misalnya pernah menjadi panitia pensi, tuliskanlah secara detail apa saja tugas yang dilakukan selama menjadi panitia. “Mengikuti program kerelawanan dapat jadi poin penting untuk ditaruh di dalam LinkedIn. Kalau ada teman-teman yang masih SMA atau kuliah yang ingin mulai membangun jenjang karier, coba ikut berbagai program kerelawanan. Pengalaman kerelawanan bisa sama artinya dengan pengalaman berorganisasi. Aku sendiri sebelum punya pengalaman kerja mengikuti program kerelawanan yang dampaknya sangat bagus untuk personal branding”, cerita Arfiana.
Dalam LinkedIn, fitur kerelawanan memang terpisah dari fitur Experience atau pengalaman. Tapi, Arfiana menjelaskan bahwa melihat dari perspektif marketing, LinkedIn sebagai jejaring sosial dioperasikan dengan sistem algoritma. Maka, semakin banyak nama perusahaan atau institusi yang dicantumkan dalam fitur Experience, semakin mudah pengguna mendapatkan eksposur. Jika tujuan pengguna di LinkedIn masih mencari kuantitas untuk perbanyak koneksi, baiknya daftar kerelawanan ditulis di dalam fitur Experience. Nantinya kalau sudah terpenuhi, detail kerelawanan bisa dipindah ke kolom yang benar agar profil lebih terlihat berkualitas.
Ketiga, mengisi deskripsi pengalaman dengan lengkap dan jelas menjadi poin signifikan saat membangun personal branding di LinkedIn. Arfiana menyarankan untuk memakai metode STAR (Situation Task Action Result). Situation atau situasi merupakan jenis kegiatan atau proyek yang dilakukan. Contohnya Situasinya adalah menjadi relawan di acara bakti sosial. Task atau tugasnya adalah mengumpulkan donasi dan membagikannya pada anak-anak panti asuhan. Action atau aksi yang dilakukan adalah membuat desain di media sosial dan menanyakan pada teman-teman sekitar yang berminat berdonasi. Result atau hasilnya adalah mendapatkan 100 pakaian untuk didonasikan pada anak-anak panti asuhan. Jangan lupa juga untuk memanfaatkan fitur attachment atau lampiran pada kolom pengalaman. Jika para pengguna tidak punya portofolio berupa tulisan atau gambar, mereka bisa mencantumkan foto-foto saat kegiatan. Misal dari program kerelawanan tadi, pengguna mencantumkan foto-foto saat membagikan donasi di panti asuhan atau foto tulisan yang disebarkan di media sosial untuk mengajak orang lain berdonasi.
Arfiana juga menyarankan untuk teman-teman yang sedang mencoba mempercantik profil LinkedIn untuk membuat konten yang menarik dengan cara storytelling atau penceritaan kembali selayaknya mikro blog. Cara ini bisa meningkatkan engagement dengan lebih banyak orang. Berikan judul yang menohok dan gambar-gambar dalam postingan untuk mencuri perhatian. Akan tetapi dari segala kiat-kiat membangun personal branding di LinkedIn, Arfiana berpendapat bahwa pengguna harus terlebih dahulu tahu obyektifnya saat menggunakan LinkedIn untuk menjalin koneksi. “Nggak ada yang paling benar atau yang salah. Semuanya bisa jadi subyektif, tergantung tujuan pengguna apa. Selama tujuannya tepat, pengguna dapat menyusun profil LinkedIn sesuai dengan apa yang perlu ditampilkan di publik”, tutupnya.