Christine Hakim: Film Adalah Karya Kolektif
Memulai karir di dunia seni peran sejak usia 16 tahun, Christine Hakim kini sudah berkarya di industri perfilman Indonesia selama hampir 50 tahun. Sudah banyak penghargaan yang ia raih dari konsistensi dan juga kontribusi yang ia berikan di dunia akting. Salah satu karya yang ia hadirkan di tahun ini adalah film Just Mom. Bekerja sama dengan sutradara Jeihan Angga, produksi Dapur Film.
Berperan sebagai Ibu Siti, seorang ibu yang memiliki rasa rindu mendalam terhadap anak-anaknya yang kini sudah beranjak dewasa. Dengan segala pengalaman yang ia lalui, pertimbangan Christine Hakim untuk ikut serta dalam sebuah project film tidak lagi hanya karena karakter ataupun tokoh yang diperankan.
“Sepertinya kalau bekerja sama dengan Mas Hanung, rasanya ibu nggak ada alasan untuk menolak. Tidak perlu ada diskusi panjang. Pertimbangannya tidak lagi hanya semata karena peran atau alur cerita tetapi lebih kepada saling medukung dan percaya untuk mendukung perfilman Indonesia,” Ungkap Christine Hakim.
Memerankan peran ibu sudah sering kali dilakoni Christine Hakim. Setiap karakter yang diperankan selalu memiliki karakteristik masing-masing. Ia percaya bahwa meskipun memerankan tokoh fiksi, setiap karakter tetap memiliki latar belakang masing-masing. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Gerak-gerik fisik suatu karakter dapat pelajari dengan memahami latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan suatu karakter tertentu.
Untuk dapat mendalami sebuah peran perlu analisa dan profesionalitas dari aktor yang akan memerankan karakter tersebut. Harus mau mempelajari, menganalisa, juga berdiskusi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah produksi film. Seorang aktor juga bisa mencoba untuk mendiskusikan opini terkait dengan penampilan sebuah karakter yang sedang diperankan, mencoba menyelaraskan diri dengan seluruh pihak yang terlibat.
Perjalanan karir yang terbilang panjang membuat Christine Hakim akhirnya bekerjasama dengan banyak orang dari beragam rentang usia. Ia tumbuh bersama dengan film dari bimbingan para sineas senior seperti (Alm) Wim Umboh, Slamet Raharjo, Eros Djarot, dan nama-nama besar lainnya. Setelah merampungkan film Kawin Lari, Christine Hakim lantas memantapkan diri menjadikan film sebagai pengganti bangku kuliah. Artinya ia berusaha bertanggung jawab dalam memenuhi kewajibannya sebagai pemain peran sekaligus juga menimba ilmu melalui dunia film.
“Menjadi seorang pekerja seni menurut saya harus terus mengasah dan mengeksplor kemampuannya terus menerus. Sebagai pemain, rasa dan wawasan harus terus diasah, kreativitasnya harus terus dirangsang dan dikembangkan. Tidak boleh berhenti pada suatu produksi yang dirasa berhasil,” Jelas peraih Piala Citra tahun 1973 untuk film Cinta Pertama.
Baginya ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh seorang aktor jika ingin berkarir dalam industri film dalam jangka panjang. Pertama adalah kemampuan beradaptasi dalam segala situasi dan keadaan. Pandemi juga memaksa banyak orang untuk menyesuaikan diri dengan keadaan agar tetap bisa berkarya dengan segala perubahan yang berlaku. Kedua, kesediaan untuk lebih banyak mendengar. Seorang aktor harus memiliki kemampuan dan kerendahan hati untuk mendengarkan orang lain. Menurut Christine Hakim, ketika akhirnya bersedia menurunkan ego ada banyak hikmah yang akan didapatkan.
Poin terakhir yang harus dimiliki aktor adalah kerendahan hati, setiap aktor harus memiliki pemahaman bahwa kesuksesan yang didaptkan bukan hanya kerja keras diri sendiri. Ada banyak pihak yang juga berkontribusi dalam keberhasilan seorang aktor memerankan suatu karakter. Film adalah kerja kolektif. Berkarya dalam seni peran salah satu kemampuan yang harus dijaga adalah bagaimana cara menjaga chemistry dengan seluruh pihak yang terlibat. Paham bahwa ada kontribusi besar dari pihak lain dalam keberhasilan yang kita raih.