Era Baru Distribusi Film
Distribusi film dari waktu ke waktu terus berevolusi. Jika dahulu untuk menikmati film di rumah kita terbiasa membeli VCD atau DVD, sepuluh tahun terakhir masyarakat sudah tidak lagi melakukannya. Kita kini bisa mengakses OTT (Over-The-Top) media service atau layanan penyedia konten yang dapat diakses dengan jaringan internet. Netflix, Disney+ dan streaming service lainnya memudahkan kita menyaksikan film-film yang ada di dunia, kapan saja dan di mana saja.
Pamor layanan semacam ini juga tinggi karena adanya pandemi. Bioskop-bioskop yang belum dapat dibuka kembali menjadi salah satu alasan kini distribusi film dengan cara OTT menjadi jalur utama. Shanty Harmayn, produser film dan Chief Executive Base Entertainment, menceritakan bahwa sebelum pandemi, industri perfilman di Indonesia adalah salah satu pasar film yang paling berkembang di dunia dengan pertumbuhannya mencapai 20% per tahun. Para sineas dan pelaku di industri ini sangat sibuk karena permintaan yang tinggi seiring dengan penambahan jumlah bioskop di Indonesia. Bertambahnya gedung bioskop yang artinya peningkatan kapasitas layar dan jumlah penonton pada akhirnya juga mendorong laju produksi film. Di saat yang bersamaan, perkembangan streaming platform juga semakin signifikan sehingga memperkaya ranah distribusi dan ekshibisi film.
Kemudian tiba-tiba pandemi merebak, menunda peluncuran film-film yang sudah diproduksi serta film-film yang sedang dan akan diproduksi. Streaming platform atau layanan OTT—yang pertumbuhannya sudah terlihat sejak tahun 2017, kini telah menjadi salah satu saluran distribusi film yang bisa menyasar banyak penonton selain bioskop. Apalagi, Netflix sebagai salah satu pemain terbesar dalam layanan OTT di Indonesia, semakin bisa meluaskan pasarnya ketika Juli 2020 lalu aksesnya bertambah dari pelanggan Telkomsel dan IndiHome. Selain itu, kehadiran Disney+ yang baru-baru ini resmi hadir di Indonesia juga kian menambah deretan pilihan layanan streaming bagi penonton film.
“Sebenarnya saya tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi tahun depan. Saya tidak bilang bahwa layanan streaming film bisa jadi pengganti bioskop sebab industri perfilman tetap membutuhkan bioskop untuk menunjang keberlangsungan bisnis-bisnis di industri ini. Keberadaan OTT dan bioskop yang bersandingan adalah kombinasi terbaik. Tidak bisa hanya mengandalkan salah satunya saja. Tapi memang saat ini, distribusi OTT adalah window yang paling memungkinkan untuk film Indonesia sampai ke penontonnya bahkan menembus akses seluruh dunia. Ini adalah kesempatan yang bisa dimanfaatkan selain menjadi motivasi untuk terus berkarya.” Ujar Shanty, produser film “Guru-Guru Gokil” yang tayang sebagai Netflix Originals kedua dari Indonesia pada Agustus 2020 lalu.
Hal serupa juga disampaikan Sheila Timothy, produser dan pendiri Lifelike Pictures. Menurutnya, keberadaan OTT yang sekarang menjadi jalur distribusi film utama merupakan blessing in disguise. Meskipun deal setiap film dengan setiap layanan streaming berbeda-beda, tapi paling tidak industri perfilman masih bisa tetap berjalan di tengah tutupnya bioskop-bioskop. co-producer film “Mudik” yang akrab dipanggil Lala ini juga berpendapat bahwa adanya pandemi akan mengubah perilaku konsumen di masa depan. “Kalau dulu penonton terbiasa untuk menyaksikan film di layar lebar, kini mereka beralih ke layar yang lebih kecil. Lama-kelamaan, menurut saya ini akan mengubah kebiasaan mereka menikmati film. Mereka yang menggunakan layanan streaming biasanya berlangganan bulanan atau tahunan. Nantinya walaupun bioskop sudah kembali bisa diakses, saya pikir mereka akan tetap berlangganan. Dan ini mungkin bisa jadi kesempatan yang cukup baik untuk film-film non box office. Film-film dalam kategori slow-burn yang selama ini sulit bertahan di bioskop. Biasanya film-film komersial yang punya gaung besar, yang melibatkan pemain kelas A, adalah film-film yang bisa bertahan lama di bioskop. Sedangkan film-film yang tidak masuk kriteria tersebut sering tidak menyentuh penonton. Sehingga, platform OTT dapat jadi alternatif untuk film-film tersebut bertemu penontonnya.”
Film-film yang sudah dipublikasikan oleh Lifelike Pictures sendiri seperti “Tabula Rasa”, “Pintu Terlarang”, “Modus Anomali”, dan “Banda” sudah memasuki Netflix. Sedangkan “Wiro Sableng” masih berada dalam kontrak dengan layanan streaming lokal, GoPlay. Baru-baru ini film “Mudik” yang sudah mengantre untuk masuk bioskop akhirnya didistribusikan lewat Mola TV secara eksklusif. Meski dampak pandemi untuk Lifelike Pictures dinilai cukup memberatkan, tapi memanfaatkan segala alternatif yang ada dapat menjadi solusi.
“Kalau dulu penonton terbiasa untuk menyaksikan film di layar lebar, kini mereka beralih ke layar yang lebih kecil. Lama-kelamaan, menurut saya ini akan mengubah kebiasaan mereka menikmati film.” - Sheila Timothy
Akan tetapi, kedua sineas cukup setuju bahwa bicara soal pengalaman menonton layanan streaming film belum dapat mengalahkan bioskop. Apalagi jika menyaksikan film-film yang menggunakan efek dan teknologi canggih. Sound system yang menggelegar serta tampilan visual dalam layar lebar yang menakjubkan seolah membawa kita berada di dalam film memberikan kenikmatan tersendiri bagi para pecinta film. Begitu juga jika bicara tentang profit. Shanty mengakui bahwa di Indonesia sendiri pemasukan dari bioskop bisa mencapai 70%. Kalau sebuah film bisa mencapai box office, profitnya bahkan bisa mencapai 100%.
Lala pun menambahkan bahwa keberhasilan film dengan jalur distribusi layanan streaming pada dasarnya tergantung dengan kesepakatan. Terdapat dua macam kesepakatan yaitu pertama dibayar dengan jumlah bulk yang artinya banyak-sedikitnya penonton tidak akan memengaruhi jumlah pembayaran. Sedangkan yang kedua adalah sharing profit. Artinya pembayaran akan didasarkan pada jumlah penonton selama jangka waktu tertentu. Semakin banyak penonton, semakin banyak profit yang diraup. Jika layanan streaming cakupannya luas, pencapaian dengan cara kedua bisa apple to apple dengan pencapaian jalur distribusi bioskop. Tapi kalau layanan streaming masih tergolong baru, teritorinya hanya di Indonesia atau bahkan hanya di beberapa kota di Indonesia saja maka penghasilan yang diperoleh bisa sangat berbeda.