Berpacu Dalam Kolaborasi
Sudah bukan jadi sesuatu yang asing lagi di dunia marketing ketika membicarakan tentang kolaborasi antar brand. Dari zaman ke zaman, kolaborasi antar brand masih dianggap menjadi salah satu strategi yang cukup signifikan dalam memasarkan produk atau jasa dengan berbagai alasannya. Hanya sistemnya saja yang berubah. Dulu kolaborasi antar brand lebih terukur dan lebih berhati-hati. Apalagi di era konglomerasi, di mana satu perusahaan yang memiliki banyak brand akan lebih memilih untuk berkutat dalam eksklusivitas. Sulit sekali mempertemukan dua brand lintas perusahaan untuk bisa berunding, merencanakan, dan mengeksekusi satu aktivasi bersama. Masih banyak brand yang hanya akan berkolaborasi dengan brand yang berada dalam satu grup atau satu jalinan perusahaan. Sekalipun brand di antara keduanya kurang cocok untuk dipasangkan.
Kini kolaborasi antar brand dilihat lebih terbuka, lebih fleksibel, dan menampilkan sebuah paket yang inovatif. Terutama di industri kreatif, kolaborasi antar brand seperti tidak ada batasannya. Yoris Sebastian, seorang pengusaha kreatif yang juga co-founder aplikasi podcast, Inspigo, mengakui adanya fleksibilitas yang tinggi saat ini dalam kolaborasi yang dilakukan antar untuk menggabungkan kekuatan. Seperti contohnya brand Muji yang berkolaborasi dengan beberapa hotel chain di Jepang. Awalnya brand Muji hanya menjual produk interior, alat tulis, kerumahtanggaan dan lain-lain. Namun ketimbang membuat iklan atau aktivasi, Muji akhirnya bekerja sama dengan hotel chain dengan melansir Muji Hotel. Di sana orang-orang bisa merasakan produk-produk Muji ketika menginap. Bahkan mereka bisa langsung membeli produk-produk yang disukai. Sehingga Muji tidak hanya “mengiklankan” produknya saja tapi juga mendapatkan profit lebih dari investasi di dalam hotel tersebut.
Yoris juga menjelaskan bahwa ia pernah melakukan hal serupa ketika masih bekerja untuk Hard Rock Cafe. “Saya tidak hanya memikirkan brand image atau awareness saja ketika hendak berkolaborasi dengan satu brand. Saya punya visi untuk lebih dari sekadar strategi branding. Jadi saat Pepsi menawarkan berkolaborasi, saya menyarankan mereka berinvestasi di program kami bertajuk ‘I don’t like Monday’ dengan tujuan untuk mengubah persepsi masyarakat tentang Hari Senin. Pesan ini sejalan dengan tren minuman kola saat itu yang belum mengenal brand Pepsi. Sehingga program ‘I don’t like Monday’ dibuat untuk mengubah persepsi masyarakat tentang Pepsi: I don’t like Pepsi. Dampaknya masyarakat tidak hanya mengenal Pepsi sebagai produk gandengan Hard Rock tapi juga kedua brand mendapatkan profit lebih dari penjualan produk Pepsi di Hard Rock Cafe.”
Tujuan Aktivasi Kolaborasi Brand
Pada dasarnya, kolaborasi antar brand memiliki dua tujuan utama. Seperti dijelaskan oleh Adri Reksodipoetro, Managing Director Nation Insights, kolaborasi antar brand bisa memiliki tujuan yang lebih riil dengan menghasilkan sesuatu bersama untuk memberikan nilai tambah. Kreasi dari hasil penggabungan tersebut mengantar kedua brand mendapatkan penghasilan tambahan. Sedangkan alasan yang kedua sifatnya lebih simbolis yaitu untuk memperkuat brand masing-masing atau saling meminjam “aset” satu sama lain. Misalnya dalam rangka membuka jalur distribusi baru demi mendapatkan eksposur dari target pasar yang belum terjangkau sebelumnya, atau untuk melengkapi kekurangan masing-masing. Satu yang pasti, aktivasi kolaborasi yang dilakukan harus saling menguntungkan keduanya jangan sampai terjadi ketimpangan. Sehingga para brand sebaiknya juga bisa mengamati, meneliti dan melakukan kurasi kolaborator terlebih dahulu.
Langkah menentukan kolaborator
Menurut Yoris, kalau kolaborasi dilakukan sebatas hanya untuk mengangkat satu brand, dalam artian hanya untuk meningkatkan awareness saja, bisa jadi konsumen tidak setia dengan kedua brand. “Jika kolaborasi dilakukan tanpa visi yang kuat, salah satu pihak berpotensi untuk mengalami kerugian lebih dari pihak lainnya. Ketika campaign selesai, satu brand telah mengeluarkan uang banyak lalu ternyata sang kolaborator setelah itu bekerja sama dengan brand kompetitor. Menurut saya akan jadi sangat disayangkan jika kolaborasi dilakukan tidak untuk membuat sebuah inisiatif bisnis baru”, ia melanjutkan.
Untuk mendapati hasil kolaborasi yang maksimal, ada baiknya sebelum menyetujui bekerja sama dengan brand lain kita bisa melakukan riset komunitas terlebih dahulu. Mempertanyakan apakah komunitas yang berpotensi menjadi konsumen memiliki karakteristik yang serupa. Apakah komunitas yang dibangun oleh kedua brand berada di satu lingkup yang sama? Atau apakah mereka paling tidak memiliki satu ketertarikan yang sama di mana kolaborasi kedua brand dapat menyediakan kebutuhan tersebut? Jangan sampai memaksakan berkolaborasi hanya karena melihat kolaborator memiliki image yang bagus sehingga dilihat berpotensi mengangkat image brand kita saja.
“Kecuali kalau memang tujuan dari kolaborasi kedua brand adalah untuk mencapai target komunitas yang belum pernah tersentuh sebelumnya. Meskipun sebenarnya menurut saya untuk memperluas jangkauan komunitas bisa lebih efektif dengan strategi digital”, jelas Yoris kembali.
Pendapat yang serupa juga diungkapkan oleh Adri Reksodipoetro. Ia menyarankan para brand strategist atau pemilik brand melakukan riset terhadap brand kolaborator secara menyeluruh, “Tanya orang sekitar tentang brand yang akan berkolaborasi sehingga kita bisa tahu seperti apa brand tersebut di masyarakat. Kemudian cari tahu komunitas atau konsumen yang pakai brand tersebut. Juga teliti value yang dimiliki brand kolaborator dan bagaimana caranya menyampaikan value itu di masyarakat.” Riset ini diharapkan dapat menghindari terjadinya kolaborasi yang kurang berhasil, yang justru dapat melemahkan brand kita.
Inovasi juga menjadi poin penting dalam berkolaborasi. Terkadang inovasi bisa datang dari pemikiran, ide atau elemen yang berseberangan. Memang sebenarnya butuh keberanian karena risikonya cukup tinggi. Akan tetapi langkah inovatif yang belum pernah ada dapat menghasilkan sesuatu yang disruptif dan justru jadi gebrakan yang luar biasa. Adri melanjutkan, “Jadi sebenarnya sah-sah saja kalau dua brand yang bertolak belakang berkolaborasi, misalnya dari dua industri yang amat berbeda. Idealnya memang ada kesamaan atau paling tidak ada arsiran yang menjembatani value kedua brand. Namun sebenarnya langkah dua brand yang bertolak belakang berkolaborasi bisa jadi saling mengisi, memenuhi kebutuhan tiap pihak yang belum dimiliki sebelumnya.”
Dari pengamatan Adri, banyak brand yang berhasil melakukan kolaborasi inovatif dan menghasilkan impresi yang sensasional. Lego dan karakter-karakter film, contohnya. Kita mungkin tidak sadar bahwa Lego yang berbentuk karakter pahlawan super mulai dari Batman hingga Jedi dari Star Wars adalah bentuk kolaborasi antar brand. Tapi inilah sampel kolaborasi yang berhasil saling melengkapi kebutuhan masing-masing. Dari sisi film mereka dapat menjangkau audiens yang lebih muda, juga tentunya menyebarkan brand awareness yang tinggi. Sedangkan dari sisi Lego, mereka mendapatkan profit dari pembelian mainan. Sedangkan di dalam negeri, Chitato dan Indomie goreng dipertimbangkan jadi kolaborasi yang amat unik. Meski masih dalam satu industri yang sama kategori produk keduanya sebenarnya berbeda, antara snack dan mie instan. Akan tetapi, diketahui buzz dari kolaborasi tersebut sangat tinggi bukan hanya karena inovasi saja tapi juga rasanya yang bisa diterima masyarakat.
Sehingga poin eksekusi tidak kalah penting dalam melaksanakan kolaborasi. Eksekusi sebaiknya jangan terlihat palsu. Adri menambahkan, “Masyarakat masa kini sudah sangat sensitif dengan sesuatu yang palsu. Kolaborasi yang terkesan memaksa akan sulit melakukan penetrasi konsumen yang dituju. Kita harus memastikan kolaborasi yang dilakukan tidak cuma sekadar untuk mendapatkan hype saja. Kolaborasi antar brand harus dapat memperlihatkan kreasi baru yang diciptakan bersama agar karakter tiap brand tetap terlihat dan justru meningkat karena penyatuan nilai-nilai dari kedua brand.”
Kiat menghindari kegagalan kolaborasi
Sebuah brand yang terlalu banyak melakukan kolaborasi sana-sini tanpa mempertimbangkan dengan matang diperkirakan hanya akan menjadi “kupu-kupu” saja. Hinggap kesana-kemari tapi tidak menghasilkan apa-apa dan pengembangannya terus stagnan. Yoris mengatakan bahwa mengikuti tren terus-terusan tanpa punya satu visi yang jelas dan konsisten tidak akan memperkuat image brand tersebut. Jika sebuah brand tidak memikirkan kolaborasi jangka panjang dengan satu brand, ia bisa terjebak dalam point of cliche. Brand tersebut hanya akan menjadi pengikut karena hanya melakukan kolaborasi yang sudah terlihat berhasil di pasaran. Alhasil, brand tersebut bisa menghabiskan uang lebih banyak karena terus berganti-ganti kolaborator tapi tidak juga memiliki image yang kuat.
“Kuncinya adalah di kreativitas. Mengajak satu brand yang sedang hits belum tentu berhasil menaikan pamor brand kita meroket. Menghabiskan banyak uang untuk berbagai macam aktivasi juga belum tentu menjamin. Lihat saja Wardah yang memulai “investasi” dengan angka sangat kecil, berkolaborasi dengan film agency. Hingga sekarang mereka sudah bisa meraup keuntungan dan jadi market leader. Begitu juga yang dilakukan brand-brand di Korea Selatan. Brand yang berkolaborasi dalam film, serial tv, atau webseries di Korea Selatan dikatakan cukup berhasil mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak”, terang Yoris lebih jauh.
Di sisi lain, Adri menyampaikan bahwa sebuah kolaborasi antar brand yang kurang tepat jarang sekali bisa menghancurkan salah satu pihak apalagi keduanya. Menurutnya, kolaborasi brand bersifat sementara sehingga para konsumen bisa menilai kedua brand tetap memiliki value yang berbeda. Sehingga satu kolaborasi tidak akan mengubah brand seutuhnya. Walaupun kolaborasi harus dipikirkan secara matang, tapi Adri menganjurkan untuk para brand jangan takut mencoba kalau memang pemikiran di baliknya secara rasional sudah dianggap tepat. “The great thing about a collaboration is the excitement that comes with the innovation from combining forces. Not only for brand owners but also for consumers”, tutup Adri.