The Age of Jamu

Geometry-Jamu-03.jpg

Semenjak pandemi COVID-19 melanda dunia, seluruh masyarakat semakin giat menjaga kesehatan tubuh lewat berbagai cara. Di Indonesia, misalnya, tradisi meminum ramuan kesehatan tradisional kembali menggeliat. Jamu yang dulu identik dengan minuman orangtua kini kembali memasyarakat dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan. Namun citra jamu sebagai minuman kuno dibabat habis-habisan oleh berbagai brand jamu modern. Kini jamu hadir dalam kemasan trendy setara dengan minuman alternatif lainnya seperti kombucha atau water kefir.

Jika dahulu jamu hanya dijajakan dari rumah ke rumah oleh mbok jamu – wanita paruh baya dalam balutan kebaya dan sanggul – yang membawa botol jamu racikan rumahan dalam bakul, kini jamu ditawarkan melalui halaman Instagram dengan visual yang kontemporer. Sebut saja nama-nama seperti Jamuwell, Jamu Spring, Rumput Tetangga, Jamz, dan masih banyak lagi brand jamu modern yang hadir menghiasi jendela eksplorasi media sosial.

Kelahiran brand-brand jamu modern ini memang kebanyakan muncul dari kebiasaan turun temurun dalam keluarga para pendirinya. Rinda Gempita misalnya, ia memulai Rumput Tetangga karena diperkenalkan dengan jamu oleh ibunya sejak kecil. “Saya tumbuh dengan melihat ibu saya mengonsumsi jamu secara rutin. Sehingga saya pun menjadi terbiasa dengan jamu. Secara langsung saya merasakan manfaat dari konsumsi jamu secara rutin yang akhirnya menjadi salah satu dorongan untuk membuat produk ini melalui brand Rumput Tetangga,” kisahnya. Begitu pula dengan Connie Florencia dari Jamuwell yang mengakui keluarganya merupakan peminum jamu dan juga bahkan telah berbisnis jamu sejak lama.

Berdasarkan pengalaman mereka, jamu memang banyak khasiatnya untuk tubuh. Namun sayangnya jamu yang ada di pasaran masih sangat tradisional dan kurang menarik minat generasi muda – terutama mereka yang tidak akrab dengan jamu sebelumnya. Timothy dan Grenata Oroh yang mulai mendirikan Jamz sejak Mei 2019 mengemukakan pendapatnya, “Bagaimana jamu yang sangat tradisional bisa survive kalau masyarakat bergeser jadi sangat modern? Padahal khasiat jamu luar biasa. Sayang sekali kalau punah. Kita harus bisa mencari solusinya yaitu dengan recontextualized. Tidak harus berubah total, small touch of a city life would do the trick. Inilah yang Jamz lakukan.”

Vera G. Rosary menambahkan bahwa yang ia lakukan dalam memodernisasi jamu lewat brand Jamu Spring adalah bukan mengubah citra namun mengemasnya dengan cara yang lebih relevan. “Menurut Jurnal dari Ahmad Fuad Afdhal & Robert L. Welsch, jamu conceived as an indigenous element of Indonesian culture, has become an important symbol of national identity; much of its appeal lies in its association with Indonesian 'tradition’ . Citra jamu dari awal hingga sekarang sangat baik, sudah terbukti, sehingga bukan mengubah identitas dari jamu itu sendiri, namun secara penyajiannya harus terus mengikuti perkembangan gaya hidup masyarakat saat ini. Kenapa? Karena kita melihat ada paradigma atau pemahaman di beberapa generasi bahwa Jamu rasanya tidak enak. Seringnya dikorelasikan ke rasa obat-obatan daripada sebuah minuman yang bisa kita nikmati kapan saja saat santai. Bagi kami, ‘modernisasi’ jamu artinya memberi konteks ke dalam budaya saat ini.” Jelasnya.

“Bagi kami, ‘modernisasi’ jamu artinya memberi konteks ke dalam budaya saat ini.”

Vera G. Rosary, founder Jamu Spring

Yang menariknya, pemberian konteks modern ke dalam jamu bagi keempat brand jamu ini cukup beragam. Ada yang mempertahankan ramuan jamu tradisional namun memberikan kemasan dalam ragam visual yang kontemporer, dan ada juga yang cukup berani mendobrak proses pengolahan rempah dan memberikan citarasa masa kini.

Rumput Tetangga misalnya, resep jamu yang digunakan untuk produk-produknya merupakan resep turun-temurun keluarga. Bahkan jamu kunyit asem mereka menggunakan resep yang racikannya sudah ada sejak tiga generasi terdahulu. “Dapat dikatakan jamu kami adalah jamu tradisional. Jadi, sesungguhnya modernisasi yang kami lakukan hanyalah pada kemasan. Cerita di balik kemasan jamu yang kami modernisasi berawal dari kami sebagai brand ingin merespon keadaan selama periode #dirumahaja dengan produk kami.” Ungkap Rinda. “Kemudian muncul ide untuk membuat kemasan dengan desain yang modern dan playful berisi pesan, keluhan, gurauan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masa #dirumahaja.” Lanjutnya.

Sementara itu, pendekatan cukup berbeda dilakukan oleh Jamuwell. Melihat kemasannya, citra modern begitu terasa lewat pilihan visual dan skema warna yang sangat kekinian. Belum lagi ketika mengetahui varian yang ditawarkan seperti leci, lemon, mangga, dan markisa menjadikannya lebih terkesan seperti jus. “Di Jamuwell, modernisasi dilakukan tidak hanya pada kemasan tapi juga proses pembuatannya. Kami menggunakan alat-alat modern untuk melumat bahan-bahan jamu lalu bahan-bahan tersebut melewati proses evaporasi sehingga bisa memiliki standar kualitas yang baik. Kami mau memaksimalkan rasa dan khasiat yang ada di bahan-bahan dasar seperti jahe dan kunyit sehingga dengan proses tersebut jamu bisa dikonsumsi dengan baik.” Jelas Connie. Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa kedua varian mereka; Wellness dan Nourish mengombinasikan rempah tradisional dengan rasa buah di mana varian Wellness mencampur jahe dengan buah sementara Nourish yang mencampurkan kunyit, jahe, dengan buah-buahan serta bahan herbal lainnya. “Kami melihat masih banyak generasi muda zaman sekarang yang bilang bahwa jamu pahit dan tidak enak. Memang rasa rempah kunyit dan jahe bisa jadi terlalu strong untuk banyak orang. Sehingga dengan proses modernisasi rasa jamu, mencampurkannya dengan rasa buah agar ada rasa manisnya bisa jadi pilihan untuk mereka yang kurang suka rasa pahit alami dari jamu. Tapi kami juga tetap menyediakan pilihan untuk mereka yang lebih memilih rasa jamu alami tanpa campuran buah.” Jelas Connie.

Varian produk Jamuwell. Image courtesy of Jamuwell

Varian produk Jamuwell. Image courtesy of Jamuwell

Lain lagi dengan pendekatan yang digunakan oleh Jamu Spring. Vera yang juga lebih dahulu mendirikan The Fountain Wellness, sebuah wellness boutique di daerah Jakarta Selatan menjadikan Jamu Spring sebagai bagian dari konsep wellness. Lewat Jamu Spring, ia ingin merevitalisasi misi kuno dari jamu yaitu meningkatkan kesehatan individu melalui sumber dan bahan-bahan natural dari alam. “Yang kami terapkan adalah memposisikan jamu sebagai salah satu elemen dalam konsep wellness itu sendiri dan menekankan manfaat dari bahan-bahan natural jamu. Kami berharap bahwa orang tahu jamu untuk bisa menjadi bagian dari gaya hidup sehat karena jamu sudah terbukti kaya akan manfaat untuk kesehatan.” Ungkapnya. Menurutnya lagi, dalam beberapa tahun terakhir dengan meningkatnya tren kopi dan minuman manis lainnya, preferensi konsumen telah berkembang menjadi lebih spesifik – baik dari rasa dan desain – sehingga citra brand menjadi faktor kunci. Menyadari konsep “obat” yang sudah ada sebelumnya tentang jamu, Jamu Spring meluncurkan lini produk yang memungkinkan semua jenis peminum jamu dapat menikmatinya – termasuk mereka yang biasanya tidak minum jamu.

Produk Jamu Spring. Image courtesy of Jamu Spring

Produk Jamu Spring. Image courtesy of Jamu Spring

Meski kehadiran berbagai brand jamu modern ini cukup disruptif untuk industri jamu, mereka tidak merasa bahwa eksistensi mereka akan menyingkirkan brand atau pedagang jamu tradisional yang telah ada sebelumnya. Bagi mereka semua, masing-masing telah memiliki pangsa pasarnya. Jika brand jamu tradisional lebih diakrabi oleh generasi tua, mereka ingin pendekatan kontemporer yang ditawarkan ini masuk ke generasi yang lebih muda. Justru mereka berharap bisa menjadi jembatan bagi generasi muda untuk mengenal lebih jauh lagi berbagai racikan jamu tradisional yang telah ada sebelumnya.

“Brand jamu modern ini berharap bisa menjadi jembatan bagi generasi muda untuk mengenal lebih jauh lagi berbagai racikan jamu tradisional yang telah ada sebelumnya.”

Previous
Previous

Buat Apa Beli, Kalau Bisa Sewa?

Next
Next

Berkomunikasi Dengan Konsumen di Tengah Pandemi COVID-19