Buat Apa Beli, Kalau Bisa Sewa?

Geometry-Slow_Subscription Economy.jpg

Dalam satu dekade terakhir, model bisnis langganan (subscription – red) tengah menggeliat. Jika dulu langganan terbatas pada bisnis media seperti langganan suratkabar, majalah, atau televisi kabel, kini beragam jenis model langganan bermunculan – mulai dari suplai makanan untuk hewan peliharaan hingga produk perawatan tubuh.

Berdasarkan laporan yang dirilis oleh perusahaan software raksasa Zuora dalam Subscription Economy Index (SEI) pada akhir 2019 lalu, untuk pertama kalinya perusahaan dengan model bisnis berlangganan sanggup meningkatkan pendapatan mereka lima kali lebih cepat dibandingkan perusahaan-perusahaan dalam S&P 500. Sementara itu, Credit Suisse memperkirakan pasar untuk subscription economy dapat mencapai USD 530 miliar pada 2020 ini.

“Kepemilikan (atas sebuah benda) sudah tidak menjadi penting lagi. Konsumen lebih menginginkan media di ujung jari mereka, bukan produk fisik yang harus diurus.” Ujar Tien Tzuo, Founder dan CEO dari Zuora. Pendapat ini bukan sebuah omong kosong karena faktanya berdasarkan riset Goldman Sachs, Millennials dan Gen Z menjadi generasi yang lebih mementingkan akses dibandingkan kepemilikan barang. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang merasa perlu untuk memiliki benda-benda seperti rumah, mobil, dan barang-barang mewah lainnya, generasi baru ini lebih memilih servis yang bisa memberikan mereka akses kepada benda-benda tersebut tanpa harus memiliki.

“Generasi baru ini lebih memilih servis yang bisa memberikan mereka akses kepada benda-benda tersebut tanpa harus memiliki.”

Handayani contohnya, wanita berusia 27 tahun yang bekerja sebagai konten creator freelance ini lebih memilih untuk menggunakan servis langganan pakaian dari StyleTheory untuk dipakai sehari-hari. “Sejak menerapkan gaya hidup minimalis, saya lebih memilih untuk meminjam baju dari aplikasi seperti ini dibandingkan belanja baju terus setiap bulannya.” Ia beralasan. Menurutnya lagi, dengan menyewa dibanding membeli ia dapat berhemat.

Menariknya, banyak bisnis konvensional yang dulunya menekankan pada penjualan produk mulai beralih kepada subscription economy. Salah satunya adalah industri otomotif. Toyota Indonesia baru-baru ini meluncurkan layanan langganan mobil bernama Kinto One di mana konsumen bisa menggunakan mobil-mobil keluaran Toyota hanya dengan membayar biaya sewa bulanan. Wakil Presiden Direktur PT Toyota-Astra Motor, Henry Tanoto mengamini bahwa munculnya model bisnis ini memang dikarenakan generasi muda memiliki pergeseran pola pikir dari ownership ke usership.

Di Indonesia sendiri memang harus diakui subscription economy masih berada pada tahap awal. Untuk dapat semakin mengembangkan industri berbasis langganan ini, para pelaku bisnis harus mampu membaca data. Seperti yang diketahui bersama bahwa data saat ini menjadi komoditas hangat, untuk itu bisnis perlu memahami data konsumen untuk dapat meningkatkan laju pertumbuhan. Dengan melakukan evaluasi ulang secara berkala pada preferensi konsumen, bisnis dapat memahami arah untuk menyusun strategi harga, memperbaiki produk dan layanan, serta meningkatkan keseluruhan user experience.

Setidaknya ada empat komponen dalam subscription yang harus diperhatikan oleh bisnis, yakni: Monthly Recurring Revenue (MRR), churn rate, Customer Acquisition Cost (CAC), dan Customer Lifetime Value (CLV). Dengan mengukur keempat matriks ini, bisnis dapat melakukan penyesuaian untuk menggerakkan pertumbuhan perusahaan karena preferensi konsumen modern terus menerus berubah dalam hitungan waktu yang singkat.

Previous
Previous

Eksplorasi DNA Gen Z

Next
Next

The Age of Jamu