Praktis dan Ramah Lingkungan Dengan Berlangganan Tisu Bambu
Hampir sebagian besar aktivitas kita tidak bisa lepas dari tisu. Menurut sebuah riset di 2020, secara global konsumsi tisu setiap orang mencapai 55 kg dalam setahun dan akan terus meningkat di setiap tahunnya, terlebih semenjak kesadaran orang akan kebersihan dan kesehatan meningkat di masa pandemi.
“Umumnya orang Indonesia bila akan membeli tisu perlu datang ke supermarket dan membelinya sekaligus dalam jumlah banyak,” sebut Stephannie Thian, salah satu pendiri Tisoo, sebuah brand tisu ramah lingkungan yang terbuat dari bambu. “Kami berpikir, mengapa tidak pembelian tisu yang rutin ini bisa jadi lebih praktis? Oleh sebab itu kami mendirikan Tisoo, yang menawarkan layanan berlangganan atau delivery subscription dengan rutin diantar langsung ke rumah.”
Stephannie dan rekannya, William Christopher Jap, pun mendapati fakta bahwa tisu yang dijual di Indonesia masih lebih banyak terbuat dari kayu pohon, sementara terdapat alternatif bahan lain yang terbuat dari bambu yang lebih ramah lingkungan. “Bambu tumbuh 30 kali lebih cepat dari pohon, bisa tumbuh di segala lingkungan, dan tidak perlu penanaman ulang,” jelas Stephannie. “Sebenarnya ada tisu dari bahan kertas daur ulang, tapi menurut kami kualitasnya kurang premium karena lebih tipis dan cepat robek. Tisu dari bambu lebih tebal, halus, dan menyerap air lebih baik. Jadi, otomatis jumlah pemakaiannya akan lebih sedikit dari tisu yang tebuat dari kayu. Secara pembelian pun akan lebih hemat. Itulah mengapa produk Tisoo 100% dari bambu.”
Meski demikian, walau secara umum tisu berbahan bambu memiliki warna lebih keruh atau kecokelatan, Tisoo tetap membuat produk mereka berwarna putih untuk kenyamanan konsumen yang sudah terbiasa memakai tisu berwarna putih. “Warna putih dianggap lebih bersih. Hal ini juga kami lakukan dengan harapan akan mempermudah perpindahan preferensi konsumen ke tisu bambu kami,” ujar Stephannie. “Tisoo sebagai sustainable tissue brand tetap aman digunakan untuk konsumen dan ramah lingkungan karena memakai proses pemutihan Total Chlorine Free (TFC) yang menggunakan hidrogen peroksida.”
Selain itu, Stephannie juga mengamati bila kebanyakan kemasan tisu yang dijual di Indonesia terbuat dari plastik, dan tidak banyak alternatif produk tisu dengan kemasan dari bahan yang dapat didaur ulang. Oleh sebab itu, desain kemasan Tisoo pun dibuat dari kertas yang diperoleh dari sumber hutan yang bersertifikat FSC, serta dapat didaur ulang.
“Jadi ada empat aspek yang Tisoo tawarkan yang berbeda dari brand tisu kebanyakan. Pertama, mengenalkan sistem berlangganan. Kedua, terbuat dari bambu. Ketiga, tidak menggunakan kemasan plastik. Dan keempat, komitmen kami untuk menanam satu pohon untuk setiap satu bundle tisu yang terjual. Tisoo bekerjasama dengan Yayasan Lindungi Hutan untuk penanaman pohon ini. Kapan lagi ada game-changing tissue brand yang tidak berbahan dasar pohon, tapi malah menanam pohon?” sebut Stephannie melanjutkan. “Produk Tisoo bisa disebut guilt-free disposables karena dengan produk ini, kita tetap menjaga lingkungan sekitar tanpa takut perlu merasa bersalah memakai tisu sekali pakai. Wipe without worry.”
Ada empat aspek yang Tisoo tawarkan yang berbeda dari brand tisu kebanyakan. Pertama, mengenalkan sistem berlangganan. Kedua, terbuat dari bambu. Ketiga, tidak menggunakan kemasan plastik. Dan keempat, komitmen untuk menanam satu pohon untuk setiap satu bundle tisu yang terjual.
Dalam produksinya, saat ini Tisoo tengah bermitra dengan sebuah perusahaan manufaktur di Cina yang memproduksi tisu dari bambu dengan sertifikasi FSC. “Pertimbangan saat memilih perusahaan ini yang pertama adalah kualitas tisu yang mereka produksi. Kami juga lihat lokasi mereka memang ada di daerah hutan bambu, jadi memang menggunakan sumber lokal. Terlebih dahulu pasti kami cek sertifikasi FSC mereka, dan mereka juga memenuhi standar ISO9001 dan ISO14001. Kami lihat juga mereka banyak memberdayakan pekerja lokal, yang banyak di antaranya perempuan,” terang Stephannie. “Proses dari mencari partner perusahaan manufaktur, desain, hingga produksi Tisoo memakan waktu sekitar 1,5 tahun. Untuk desain produk kita dengan desainer lokal di Jakarta.”
Stephannie mengakui, untuk saat ini mungkin sedikit sulit membandingkan secara head to head antara Tisoo dengan brand tisu lain yang berbahan dasar kayu serta masih memakai kemasan plastik yang sudah diproduksi masal di Indonesia.
“Kami masih perlu mengedukasi konsumen dengan konsep tisu yang baru ini. Jadi akan lebih feasible bila kami melakukan produksi dengan mitra kami di Cina,” ungkap Stephannie. “Tapi, saat demand konsumen Indonesia akan produk tisu bambu meningkat, kami berniat untuk memindahkan produksi ke sini. Jadi kami bisa menurunkan harga dan lebih bersaing lagi dengan harga tisu umumnya.” Untuk itulah, Tisoo masih menyasar pasar konsumen premium serta mereka yang memiliki kesadaran akan lingkungan di tahun-tahun awal.
Varian produk Tisoo yang ditawarkan saat ini terdiri atas toilet paper, facial tissue, dan kitchen paper, serta dapat diperoleh secara online. “Bila membeli online, Tisoo hanya tersedia dalam paket bundle yang memudahkan untuk pembelian bulk dan untuk berlangganan. Tidak ada pembelian satuan,“ terang Stephannie kembali. “Tapi, dalam waktu dekat kami akan memasukan Tisoo di eco-friendly offline stores di Jakarta dan Bali yang memungkinkan orang membeli satuan.”
“Mengapa Jakarta dan Bali, karena kebetulan gudang kita di kedua kota tersebut. Menurut kita konsep conscious, eco-friendly, dan plastic-free lifestyle itu lebih banyak diterapkan di Bali. Namun, daya beli itu memang paling prime di Jakarta untuk sekarang,” lanjutnya. “Tapi dengan online, kita bisa menjangkau seluruh area di Indonesia untuk pengirimannya. Jadi dapat menjangkau siapa pun.”