Kunci Berpikir Lebih Kreatif

30Sec_Creative_Trick.jpg

Saat akan mendesain – baik itu karya, produk, ataupun kampanye komunikasi – manakah yang lebih baik untuk dijadikan sumber kreativitas: apakah otak atau hati? Pertanyaan itulah yang coba dijawab oleh University of Connecticut dan University of Illinois lewat studi terbaru mereka yang diterbitkan di Journal of Consumer Research.

Kesimpulannya? Dengarkan hatimu. Ternyata, berdasarkan hasil studi, lebih penting untuk mempertimbangkan bagaimana perasaan audiens dibandingkan apa yang akan mereka lakukan setelahnya. Dan dengan mengetahui itu, kita dapat mengubah pola pikir agar lebih kreatif lagi.

“Kita seringkali diajarkan untuk menjadi obyektif – ‘Kamu harus profesional. Pikirkan dalam sudut pandang obyektif dan jangan terjebak pada emosi.’” Ungkap Kelly Herd, profesor marketing di University of Connecticut. “Tapi ternyata proses berempati justru membawa kita menjadi lebih kreatif.”

Lewat lima percobaan yang terpisah, Kelly dan rekannya Ravi Mehta meminta masyarakat umum untuk membuat konsep sebuah produk baru, seperti mainan anak-anak, troli belanja untuk lansia, dan rasa baru keripik kentang untuk wanita hamil. Krusialnya, setengah dari partisipan diinstruksikan untuk memikirkan permasalahan ini secara kognitif – dengan mempertimbangkan solusi logis. Sementaranya setengahnya lagi diminta untuk memejamkan mata selama 30 detik dan coba berempati pada end users – dengan mencoba merasakan apa yang akan mereka rasakan – sebelum memulai mendesain.

Selama percobaan tersebut, “desainer” yang menggunakan empati ternyata menghasilkan ide-ide yang lebih kreatif (dinilai oleh berbagai panel independen), dan yang terpenting, ide mereka bukannya tidak logis jika dibandingkan dengan kelompok satunya.

Sebagai contoh, saat diinstruksikan untuk menciptakan rasa keripik kentang untuk wanita hamil, mereka yang berpikir secara kognitif memunculkan rasa-rasa seperti “asin” dan “barbeque”. Sementara mereka yang berpikir dengan empati justru menelurkan rasa-rasa seperti “acar timun dan es krim”, “sushi dengan wasabi” dan sesuatu yang mereka sebut “margarita untuk ibu-ibu”. Menariknya, sushi dan margarita bukanlah pilihan rasa yang aneh karena keduanya merupakan sesuatu yang tidak dapat dikonsumsi oleh wanita hamil.

Tapi mengapa empati menjadi sesuatu alat kreativitas yang efektif? Apakah karena saat memikirkan tentang perasaan orang lain kita menjadi begitu peduli dengan mereka dan menjadi bekerja lebih giat? Menurut Kelly, jawabannya bukan itu.

“Alasan mengapa hal tersebut berhasil adalah karena saat berempati, atau memikirkan seseorang secara emosional, mengarahkan kita pada kognitif yang fleksibel,” ungkap Kelly. “Flexibility cognitive muncul biasanya saat memikirkan suatu ide atau informasi baru dalam brainstorming.” Pada dasarnya, kemampuan ‘mengubah’ mental tersebut membantu kita untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain dan ‘mengutak-atik’ ide dengan lebih fleksibel.

Lalu bagaimana caranya untuk meningkatkan empati agar lebih kreatif? Kelly merekomendasikan praktik sederhana. Habiskan 30 detik hingga satu menit untuk berpikir tentang orang lain dan bagaimana mereka harus merasa – bisa apapun itu, mulai dari bagaimana pengguna menggunakan produk terbaru Anda, atau sesederhana bagaimana pasangan akan merasa saat menerima kado ulangtahun dari Anda.

“Saya rasa proses itu cukup cepat.” Pungkas Kelly. “Bukannya Anda harus duduk dan berpikir berjam-jam untuk bisa mendapatkan benefit itu. Hanya sesaat saja untuk mengubah sudut pandang yang dibutuhkan untuk menjadi lebih kreatif.”

Previous
Previous

Paulina Katarina: Eksplorasi Gaya Pulau Dewata

Next
Next

Ruang Kreatif Di Gudang Tua