Paulina Katarina: Eksplorasi Gaya Pulau Dewata
“Kalau Anda sering mengecek butik-butik lain yang ada di Petitenget, Seminyak, atau Ubud, Anda akan tersadar kalau mereka sesungguhnya tidak pernah mengganti koleksinya selama bertahun-tahun,” ujar Surya Paulina Kuhn membuka percakapan sambil menata pakaian di rak butik kecilnya yang berada di daerah Petitenget, Bali. Butik ini merupakan rumah bagi Paulina Katarina – label fesyen yang ia dirikan sejak tahun 2011 bersama adiknya Ratna Katarina Kuhn.
Surya dan Ratna lahir dan besar di Bali dalam keluarga multirasial dengan bapak yang berasal dari Jawa dan ibu yang berasal dari Jerman. Keduanya kemudian pindah ke Australia untuk melanjutkan studi. Setelah menghabiskan beberapa tahun di negara kangguru – Surya di Perth sementara Ratna di Melbourne – keduanya sepakat untuk kembali ke kampung halaman mereka di Bali untuk meneruskan bisnis garmen milik orangtuanya yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun. Pabrik kemudian menjadi taman bermain bagi mereka berdua. “Dari kecil sebenarnya tempat kami bermain ya memang di pabrik tekstil ini.” Ungkap Ratna.
Kecintaan mereka berdua akan fesyen kemudian dicurahkan melalui bisnis garmen tersebut. Sayangnya, karena bisnis tersebut lebih banyak mengerjakan pesanan pakaian dari klien, kreativitas mereka tidak dapat tereksplorasi secara maksimal. “Di beberapa bagian sebenarnya tetap ada sisi kreatifnya di mana kami memberikan masukan pada klien mengenai model pakaian, pilihan kain, atau motif seperti apa yang cocok dengan mereka.” Ujar Surya. Ratna pun menambahkan, “Tapi tetap saja pada akhirnya yang akan mendapat credits adalah mereka. Kami hanya di belakang layar saja.”
Akhirnya pada tahun 2011 mereka memberanikan diri untuk membuat label fesyen sendiri yang awalnya hanya sekedar proyek sampingan dan berjalan tanpa business plan sekali pun. “Pemikirannya dulu ‘ah, kami juga bisa’. Kita coba saja dulu dan lihat bagaimana nantinya.” Kekeh Ratna mengingat masa-masa permulaan Paulina Katarina. Beruntung bagi Surya dan Ratna memulai bisnis label fesyen tersebut di tahun itu, mengingat tahun tersebut menjadi semacam masa awal pertumbuhan brand lokal dan konsumen Indonesia mulai memiliki kebanggaan dalam memilih produk lokal.
Tanpa disangka, ternyata respon terhadap Paulina Katarina baik dari konsumen internasional yang datang ke Bali maupun domestik begitu overwhelming sehingga Surya dan Ratna pun mulai menyeriusi bisnis ini sejak lima tahun lalu dengan membangun online store, berpartisipasi dalam berbagai fashion week dan pop-up bazaar, hingga menjalin hubungan dengan berbagai media nasional.
“Nama brand ini merupakan kombinasi dari nama tengah kami yang sebenarnya juga merupakan nama dari nenek buyut kami di Jerman – yang satu bernama Paulina, dan satunya lagi Katarina.” Jelas Ratna. Dengan menggunakan nama yang sangat personal bagi brand-nya, Surya dan Ratna memang sengaja menjadikan brand ini sebagai semacam perpanjangan dari gaya hidup mereka sendiri. Pendekatan tersebut terefleksikan dalam arahan desain yang dideskripsikan oleh Ratna sebagai ‘pakaian yang mereka suka kenakan dan ingin mereka kenakan’. “Jumpsuits dan dress adalah kuncian kami.” Tambahnya.
Pada awal perjalanannya Paulina Katarina sempat dianggap sebagai label fesyen yang sangat Bali dengan koleksi resort wear yang dihiasi motif-motif etnik. Nyatanya, harapan Surya dan Ratna adalah lebih dari sekadar itu. Mereka ingin mendesain pakaian yang dapat dikenakan di manapun. Bukan hanya di pulau tropis namun juga kota kosmopolitan karena mereka tidak hanya menyasar turis yang datang ke Bali sebagai target marketnya namun juga wanita-wanita modern Indonesia di berbagai kota besar.
Hal itu lah yang kemudian membedakan Paulina Katarina dengan fashion label dari Bali lainnya. “Kebanyakan brand Bali terlalu menjadi ‘Bali’.” Jelas Surya. “Mereka tidak fashion forward. Rata-rata produknya adalah beachwear, padahal tidak semua orang ingin terlihat seperti baru pulang dari pantai.” Tambahnya.
Untuk memahami kebutuhan konsumen dan memastikan bahwa koleksi yang akan dikeluarkan sesuai dengan keinginan mereka, Surya dan Ratna pun sangat berpedoman terhadap analisa data yang mereka dapatkan dari penjualan secara online maupun offline. Melalui data tersebut mereka bisa mengetahui artikel, model, dan bahkan warna apa yang lebih digandrungi oleh konsumen untuk merencanakan koleksi ke depannya.
Selain itu, kini mereka pun membagi Paulina Katarina ke dalam tiga lini; Paulina Katarina, Paulina Katarina Archipelago, dan Paulina Katarina Wanderlust. Di mana ketiganya memiliki karakter yang sangat berbeda namun tetap dalam benang merah feminin dan eklektik yang menjadi style mereka.
Jika lini bernama mereka lebih didominasi dress modern yang terlihat lebih urban, Paulina Katarina Wanderlust justru menjadi antitesisnya dengan koleksi premium resort wear yang dideskripsikan Ratna sebagai ‘a very holiday clothing’ dengan material ringan seperti linen, katun natural, dan sutera. Sementara itu, Paulina Katarina Archipelago mengeksplorasi motif-motif kain nusantara seperti songket dan batik yang dijadikan print untuk dress kasual, atasan, dan juga jaket.
Sepanjang perbincangan, Ratna terlihat sangat outspoken dan Surya lebih banyak menimpali pendapat-pendapat Ratna. Namun keseimbangan layaknya yin dan yang ini lah yang mungkin menjadikan Paulina Katarina dapat berjalan dengan baik hingga saat ini. Belakangan baru kami tahu bahwa memang dalam struktur mereka, Ratna lebih banyak berurusan dengan desain dan bagian kreatif lainnya sementara Surya menangani produksi, sales, dan marketing.
Bali, bagi Surya dan Ratna, adalah tempat yang menarik karena merupakan melting pot dari berbagai ragam budaya. Pertemuan mereka dengan banyak orang dari berbagai belahan dunia – dengan gayanya sendiri-sendiri – membawa energi positif dan menjadi sebuah inspirasi tersendiri bagi mereka.
Meski begitu, ketika membahas mengenai skena kreatif di Bali, Ratna mengakui bahwa perkembangannya cenderung lambat. “Saat ini sudah mulai membaik. Namun secara bersamaan, sulit untuk bisa besar di industri kreatif di Bali karena pulau ini adalah destinasi wisata. Orang-orang lebih memilih untuk terjun di pekerjaan yang terkait turisme.” Aku Ratna. Ia juga mencontohkan begitu sulitnya untuk mendorong orang-orang untuk terjun ke bidang fesyen. “Kita waktu itu pernah keliling Bali mencari pengrajin tenun, tapi kebanyakan semuanya sudah generasi tua sementara anak-anaknya tidak mau meneruskan.” Lanjutnya.
“Saat kita bilang industri kreatif di Bali mulai membaik, maksudnya adalah semakin banyak pengaruh dari luar yang menggerakkan creative entrepreneurship. Ekspatriat datang dan memberikan pandangan baru dari seluruh penjuru dunia, seperti ‘Oh barang ini bisa jadi seperti ini, kain-kain tradisional ini bisa dijadikan ini.’” Tambah Surya.
Semakin sore, butik di Jalan Kayu Jati ini semakin ramai oleh pengunjung. Ratna dan Surya pun tak sungkan-sungkan untuk turut membantu melayani pelanggan. Mungkin memang personal touch menjadi kata kunci bagi brand Paulina Katarina. “Memang begitu. Saat kita menggelar pop-up di beberapa kota, kita biasanya hang out dengan mereka di booth dan berbincang secara personal dengan para customers. Kita bisa nongkrong seharian!” Jelas Surya yang memang menangani customer relation management untuk Paulina Katarina.