Kembangkan Bisnis Dengan Cepat Lewat Franchise
Franchise dipertimbangkan menjadi salah satu strategi untuk sebuah brand dapat berkembang dan melakukan ekspansi. Dari film The Founder kita bisa belajar betapa pentingnya franchise hingga dapat membuat McDonald’s bisa menjadi sebuah brand internasional. Lalu apa saja yang perlu diperhatikan jika ingin membuat jaringan franchise sebuah brand? Mari berkaca pada beberapa brand berikut ini.
McDonald’s
Dalam film “The Founder” kita tahu bahwa yang membawa McDonald’s menjadi sebuah brand bertaraf internasional bukanlah para pendirinya. Seorang salesman bernama Ray Kroc yang membantu kedua pencipta resep McDonald’s, Maurice dan Richard McDonald adalah orang dibalik kesuksesan McDonald’s. Awalnya mereka hanya ingin memiliki satu restoran kecil saja di kampung halamannya.
Akan tetapi, setelah Ray Kroc menawarkan program franchise kepada kedua pendiri McDonald’s akhirnya berkembanglah McDonald’s Corporation. Bahkan karena mengurus legitimasi franchise di bawah nama McDonald’s Corporation, Ray Kroc juga mendapat hak paten atas seluruh identitas brand McDonald’s. Hingga akhirnya, di bawah naungan Ray Kroc McDonald’s bisa membangun 35.000 outlet di lebih dari 100 negara pada awal abad ke-21. Termasuk di Indonesia.
Pesan yang dibawa setiap restoran di semua negara sama yaitu menyediakan menu dengan rasa yang familiar untuk semua kalangan dan menawarkan harga yang ramah. Di Indonesia, meski menu-menu andalan McDonald’s yang mendunia tetap ada, cita rasa lokal tetap diperhatikan. Perpaduan resep lokal dengan menu McDonald’s menjadi sebuah keunikan sekaligus langkah strategis yang mempertahankan brand ini tetap ada di Nusantara. Franchise bisa menjadi penting bisnis untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
J.CO Donuts
Pelajaran tentang franchise juga bisa kita dapatkan dari brand lokal, J.CO Donuts. Disebut-sebut brand ini bahkan bisa mengalahkan pamor Dunkin’ Donuts yang sudah ada di Indonesia sejak 30 tahun lalu. Salah satu aspek yang membuat langkah franchise J.CO Donuts berhasil adalah harganya yang amat bersaing tanpa mengurangi cita rasa. Selain itu, inovasi pada rasa dan nama juga diketahui menjadi alasan mengapa ekspansi J.CO ke berbagai kota di Indonesia terbilang berhasil. Lihat saja nama menu Avocado DiCaprio yang terinspirasi dari nama Leonardo DiCaprio dan Blueberrymore dari nama Drew Berrymore.
Berdasarkan artikel yang dipublikasi oleh Nikkei Asia, ekspansi J.CO yang kini telah menyebar ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Hong Kong didasari oleh pemahaman konsumen lokal. Seperti juga yang dilakukan oleh McDonald’s, J.CO memperhatikan benar bagaimana cita rasa donatnya di pasar. Menu yang ada di Indonesia dengan di Hong Kong tentu saja berbeda. Seperti pasar di Hong Kong yang tidak begitu suka makanan yang terlalu manis. Jadi, produk-produk yang dipasarkan di sana mengikuti lidah kebanyakan konsumen. Dengan memiliki produk yang berbeda dengan kompetitor, jaringan franchise pun dapat berjalan dengan lancar karena telah memenangkan perhatian sejumlah pelanggan setia.
7/11
Sayangnya, tidak semua brand dapat selalu berhasil melakukan franchise. Di negara-negara Asia lain seperti Singapura dan Jepang, 7/11 mungkin berhasil mengambil hati masyarakatnya selama berpuluh tahun. Namun tidak demikian dengan Indonesia. Beberapa faktor penting dinilai memengaruhi tertinggalnya 7/11 di tanah air.
Pertama adalah model bisnis 7/11 yang dianggap kurang fokus. 7/11 yang juga sering disebut Sevel oleh orang Indonesia memulai bisnisnya sebagai sebuah convenient store atau mini market. Seiring perkembangannya, ia pun menyediakan ruang layaknya restoran untuk para pengunjung. Mereka diperbolehkan untuk makan dan minum dari produk-produk mini market yang dijual Sevel. Di sinilah kesalahan strategi terjadi. Berdasarkan video yang dirilis oleh CNBC, dikemukakan bahwa pengunjung seringnya hanya membeli satu atau dua produk dengan harga rendah kemudian duduk hingga berjam-jam. Situasi ini terus terjadi dan membentuk pasar yang justru bukan target Sevel sendiri. Akhirnya, profit sulit untuk dihasilkan karena modal yang dikeluarkan untuk membangun lahan layaknya restoran tidak tertutup dengan kurangnya jumlah pembelian.
Kedua adalah kalah melawan kompetitor. Seperti yang kita tahu, dua brand mini market di Indonesia yang merajai pasar, Indomaret dan Alfamart telah memiliki jauh lebih banyak gerai sebelum Sevel tiba. Mengetahui ini, Sevel tidak menawarkan sesuatu yang berbeda dan menyasar pasar yang kurang tepat dengan produk-produk ala barat yang dijualnya. Masyarakat sulit menjadikan produk-produknya sebagai sebuah keseharian dengan harganya yang relatif lebih mahal untuk sebuah mini market.
Kesalahan ketiga sebenarnya masih cukup berhubungan dengan target pasar yaitu produk minuman beralkohol yang menciptakan kontroversi. Sevel yang lebih banyak didirikan di ibu kota, tidak memerhatikan sisi budaya dan keagamaan yang lekat di masyarakat. Ketika mereka menjual minuman beralkohol lantas pemerintah daerah melarang produk tersebut dijual.
Kesimpulannya, saat hendak melakukan franchise target konsumen menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan. Jika belum ada analisis yang menyeluruh akan target market serta nilai produk yang kurang kuat seperti rasa atau inovasi yang unik, franchise justru bisa dinilai sebagai langkah yang terburu-buru dan bahkan dapat merugikan.