Homebody Economy: Saat Pasar Pindah ke Rumah
Ketika PSBB mulai diberlakukan tahun lalu, nggak terasa sudah hampir setahun mayoritas kegiatan kita dilakukan di rumah. Kalau dulu rasanya waktu lebih banyak dihabiskan di luar, kini justru yang terjadi adalah sebaliknya. Selama pandemi belum memiliki tanda akan membaik, tampaknya tren untuk memusatkan kegiatan di rumah ini masih terus akan bertahan. Bahkan, nggak sedikit kami dengar sejumlah orang justru mulai merasa nyaman dengan gaya hidup baru ini.
”Kalau bisa meeting dengan Zoom, kenapa harus jauh-jauh janjian ketemu?”
“Mager ah pergi, beli online aja,”
“Olahraga di dalam rumah aja ikutin video,” dan lain sebagainya.
Tiga tahun lalu, Kaitlyn Tiffany, seorang jurnalis Vox pertama kali mengenalkan istilah ‘homebody economy’untuk menjelaskan naiknya kecenderungan milenial dan Gen Z di Amerika Serikat yang memilih untuk menghabiskan lebih banyak waktu di rumah – bahkan bila memungkinkan hanya untuk leyeh-leyeh di tempat tidur. Dengan menghabiskan waktu di rumah, otomatis pengeluaran mereka pun berpindah dari yang sebelumnya banyak dihabiskan untuk pergi ke luar, jadi untuk memenuhi kebutuhan berdiam di dalam. Kegiatan dari situasi inilah yang kemudian disebut homebody economy. Nggak hanya itu, bentuk benda atau jasa yang dikonsumsi pun mengalami penyesuaian. Kalau disimpulkan, ekonomi ini dibangun atas pakaian, home goods, layanan streaming, aplikasi delivery, wellness products, hingga pembiayaan kredit nol persen untuk pembelian kasur lipat atau bahkan satu set seprai mewah. Intinya, apa yang membuat nyaman di rumah, lah.
Nah, sejak tahun 2020, untuk mencegah penularan penyakit selama pandemi, setiap orang diharuskan sebisa mungkin untuk mengkarantina diri di rumah. Akibatnya, gaya hidup konsumen di seluruh dunia pun secara besar-besaran mengalami pergeseran dengan menjadi terpusat di dalam rumah, yang membuat aktivitas perekonomian rumahan, atau homebody economy jadi meningkat.
Riset dari McKinsey menyebutkan, di akhir tahun 2020, 78% persen konsumen Indonesia belum melanjutkan kegiatan mereka di luar rumah secara ‘normal’ seperti sebelum pandemi. Selain tingkat belanja online yang naik hingga 60% dibanding tahun sebelumnya, dalam riset yang sama juga disebutkan bahwa online streaming, grocery dan restaurant delivery adalah tiga kegiatan yang menempati urutan teratas dalam hal paling banyak dilakukan selama di rumah.
Menurut UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development), diprediksi tren untuk melakukan kegiatan secara online ini akan terus bertahan. Riset Nielsen tahun 2020 juga menemukan 89% responden mengaku mereka akan lebih bersedia membeli kebutuhan sehari hari dan produk segar secara online meskipun pandemi telah selesai.
Terlepas dari entah cepat atau lambatnya pandemi ini berakhir, pastinya peluang dari pergeseran gaya hidup ini satu per satu mulai membuka mata para pemilik brand untuk menangkap peluang. Tentu, mereka yang menyediakan delivery atau memiliki produk yang dapat dipesan online dan dikirim untuk dinikmati di rumah, mendapat keuntungan dari sini. Laporan dari GoFood dan Grab Food, dua major food delivery platform di Indonesia, pandemi memberi kenaikan jumlah transaksi dan pengguna layanan pesan antar makanan mereka. Di sektor F&B hal ini kemudian berpengaruh pada penyesuaian kemasan dari existing product. Ini menjelaskan mengapa kopi literan dan dessert box jadi suatu hal yang umum kita temui sekarang. Nggak hanya itu, beberapa brand pun me-package produk mereka secara kreatif, seperti Lazy Susan dengan Cocktail Kit-nya dan Bakmi Tiga Marga dengan bakmi dalam kemasannya, yang menjadikannya menarik, terjaga dalam pengiriman, dan praktis untuk dikonsumsi.
Banyaknya waktu di rumah juga membuat orang merasa perlu untuk membuat tempat tinggal mereka terasa nyaman, sehingga membuat permintaan produk home living jadi meningkat. Sejumlah brand dan produk di kategori ini lalu mulai bermunculan untuk merespon pasar. Sebut saja lilin aromaterapi, pewangi ruangan atau diffuser, pot tanaman design-y, hingga cermin dalam aneka bentuk atraktif yang tiba-tiba jadi banyak ditemui. Scene of Wonders adalah salah satu brand yang menarik di mata kami dengan menawarkan parfum dan lilin aromaterapi dengan aroma sumber daya lokal Indonesia, seperti salak, serai, pala, cengkeh, dan masih banyak lainnya. Seniman keramik Ayu Larasati dalam interview singkatnya dengan kami mengakui bila pandemi membuat produk keramiknya jadi bervariasi pada peralatan home living, mulai dari baking tray, lemon juicer, candle holder, butter container, dan lain sebagainya. Sebagai tambahan, dibukanya Fredhelligh sebagai toko yang menjual peralatan rumah tangga estetis dan fungsional, juga mengukuhkan kalau sektor home living tengah mendapat tempat di hati para homebodies lokal ini.
Yang pasti nggak luput dari efek perekononian rumahan ini adalah industri fashion. Sare Studio, lini pakaian tidur yang pertama kali hadir di tahun 2015, makin menguatkan posisi labelnya di saat pandemi ini dengan kian dipilihnya lounge wear sebagai pakaian sehari-hari. Orang ingin pakaian nyaman sekaligus fungsional untuk digunakan bekerja, bersantai, serta berkegiatan di rumah. Oleh karenanya, fashion brands pun satu per satu mengeluarkan koleksi lounge wear mereka, lengkap dalam ragam variasi warna, motif, hingga ukuran yang memungkinkan satu keluarga mengenakan pakaian yang sama. Nggak ketinggalan, aksesori pelengkap seperti eye mask dan sandal rumah juga turut masuk dalam radar koleksi yang dikenalkan. Slipper dari Rakit menarik perhatian kami lewat koleksi sandal rajut rumahnya yang memiliki kombinasi permainan warna.
Bisa dibilang, secara nggak langsung pandemi seolah mengawali era di mana orang mulai menyadari, membutuhkan, dan mencari kenyamanan dalam hunian mereka. Terdapat istilah ‘domestic cosy’ yang diperkenalkan Venkatesh Rao di awal tahun 2019, yang secara singkat menjelaskan tentang tendensi Gen Z sebagai generasi yang alih-alih memiliki ketertarikan pergi ke luar, justru memilih memprioritaskan aspek kenyamanan diri sendiri di dalam rumah. Jadi setelah era Marie Kondo dengan minimalismenya, lalu kemudian kita dikenalkan dengan konsep hygge, ikigai, lagom, dan kawan-kawannya, ke depannya, konsep domestic cosy diperkirakan akan menjadi sorotan seiring berjalannya homebody economy. Orang mulai nyaman beraktivitas dari rumah, teknologi membuat urusan pekerjaan dapat dilakukan jarak jauh, serta bertumbuhnya ecommerce dan layanan delivery menjadikan kebutuhan secara umum dapat dibeli dalam sapuan jari di rumah. Apalagi alasan yang membuat orang perlu ke luar? Tingginya angka burnout di kalangan milenial juga makin menambah daftar alasan bagi generasi konsumen yang akan datang ini untuk mulai memperhatikan diri sendiri, memprioritaskan self care, serta kenyamanan pribadi. Mungkin nggak lama lagi selimut akan jadi barang yang paling dicari orang di kota besar Indonesia untuk memberi tambahan ‘coziness’. Mengutip kata L. Frank Baum yang sudah terlalu banyak beredar, “there’s no place like home”, pada akhirnya, memang rumah akan selalu jadi tempat kita ingin kembali.