Waste Not Wasted: Ekspresi Seni dari Limbah Keramik
Ketika membuat karya seni, pemilihan material terdengar sangat teknis. Namun sebenarnya menjadi sangat penting untuk melihat gagasan seniman. Meski demikian, dalam seni rupa kontemporer, elemen kriya (craftsmanship) menjadi jarang dibahas, karena mayoritas karya kontemporer cenderung lebih minimalis dan lebih menitik berat pada konsep. Kemungkinan hal ini terjadi karena usaha dekolonisasi pemikiran yang tak terkontrol: kriya diidentikan dengan ekonomi pariwisata yang banal dan statis, sedangkan ke-kriya-an adalah dasar kemampuan yang dimiliki seniman agar tetap seimbang antara konsep dan eksekusi karya (pemilihan material yang tidak melemahkan wacana karya). Kriya memiliki bagian besar dari sejarah budaya tradisional di Indonesia, sehingga diskusi tentang materialitas seharusnya bukan hal yang asing untuk diperbincangkan
Dalam tulisan tiga bagian ini, kita akan berbicara tentang karya dan praktik tiga seniman perempuan Indonesia dengan pendekatan materi non-konvensional, sebagian besar berasal dari material limbah yang tidak disadari merupakan hasil peradaban manusia. Seniman yang akan dibahas untuk edisi pertama adalah Dyah Retno dan proyek panjangnya mengolah limbah keramik berjudul “Physis” yang dilakukannya dari tahun 2016-2020.
Physis dalam filosofi Yunani berarti nature, berlawanan dengan nomos atau buatan manusia. Setelah berabad-abad, nomos menjadi sangat dominan karena manusia selalu terobsesi dengan kesempurnaan dan pengakuan. Di periode antroposen yakni zaman ketika kegiatan manusia sangat memengaruhi ekosisten bumi. Manusia menjadi penentu utama dalam mengontrol jumlah jejak karbon di bumi. Namun tidak jarang benda buatan manusia yang awalnya untuk mempermudah sebuah alur kerja, berakhir sebagai limbah pencemar setelah daya gunanya habis.
Keramik menjadi industri yang dianggap ramah lingkungan karena daya pakai ulangnya cukup panjang, namun jika ditelusuri industri ini rawan melakukan greenwashing. Hasil produksi pabrik melewati standarisasi tertentu, kemudian menyebabkan produk cacat menjadi limbah yang dihancurkan namun tidak didaur ulang. Limbahnya berakhir di lahan kosong dan glasir pada permukaannya menjadi berbahaya jika terlarut dalam air tanah.
Tanah dan air yang tercemar dari limbah kimia - biasanya pada bahan glasir keramik - mungkin belum dianggap mengganggu bagi masyarakat sekitar. Akan tetapi jika diteliti, tanah dan air di bumi sudah berada pada tingkat tidak sehat. Dampak jangka panjang dari pencemaran ini akan berdampak pada tanaman pangan yang mengandung polutan dan menjadi konsumsi manusia serta hewan. Fenomena mengerikan ini menggerakan Dyah Retno untuk mengolah limbah keramik untuk dapat dimanfaatkan kembali sebagai media keramik baru serta media tanam.
Pendekatan yang digunakan bisa disebut perkawinan antara kerja sains dan kesenian. Seni dan sains notabene saling beririsan menawarkan kebenaran dengan cara berbeda. Praktik kesenian kontemporer tidak sepenuhnya jauh dari sains, karena hampir seluruh media yang digunakan membutuhkan perhitungan, kombinasi dan reaksi yang tepat untuk menciptakan estetika tertentu. Proses Dyah untuk menemukan formulasi yang tepat lewat riset di laboratorium, mencoba campuran yang beragam, hingga berhasil menemukan bahan olahan limbah yang ideal, memperlihatkan bahwa seniman juga berfungsi sebagai saintis untuk menjawab keingintahuannya akan posibilitas tak terhingga.
Dampak jangka panjang dari pencemaran yang mengerikan menggerakan Dyah Retno untuk mengolah limbah keramik agar dapat dimanfaatkan kembali sebagai media keramik baru serta media tanam.
Tantangan yang dihadapi seniman tidak berhenti pada pengetahuan material, namun juga pada pilihan estetika untuk membagi kegelisahannya pada penonton. Instalasi karya "Physis" memperlihatkan perjalanan Dyah dari hulu ke hilir untuk bernegosiasi dengan limbah nomos di era antroposen, hingga menjadi karya dan media tanam. Instalasi ini memiliki potensi untuk membangun kesadaran bahwa kemampuan manusia untuk memperbaiki sama besarnya dengan kemampuan untuk mendestruksi. Manusia bisa memilih untuk menggunakan kemampuan dan keputusannya agar bisa mengembalikan sedikit kondisi alam yang lebih sehat setelah lama dieksploitasi. Alam sangat penting untuk keberlanjutan kehidupan makhluk hidup di masa depan, namun urgensi untuk bertindak belum sepenuhnya hadir secara global. Seni dan sains memiliki kekuatan untuk menggerakan masyarakat, membawa fenomena faktual sebagai sorotan penting.
Proses Dyah untuk menemukan formulasi yang tepat lewat riset di laboratorium, mencoba campuran yang beragam, hingga berhasil menemukan bahan olahan limbah yang ideal, memperlihatkan bahwa seniman juga berfungsi sebagai saintis untuk menjawab keingintahuannya akan posibilitas tak terhingga.