Virtual Cinema, Model Bisnis Alternatif Bagi Bioskop Independen

Whatever it is, the way you tell your story online can make all the difference.

Keberadaan ruang putar atau bioskop alternatif memiliki pasarnya tersendiri. Pengamat budaya pop dan perfilman, Hikmat Darmawan, berpendapat bahwa berkaca dari pasar alternatif dari ruang eksibisi arthouse cinema di AS dan Eropa, ia memandang potensi penonton yang menggemari film lewat jalur independen cukup menjanjikan. Selain itu, ruang putar alternatif memfasilitasi distribusi sebuah film sehingga usia karya film dapat diperpanjang melalui aktivitas pemutaran film secara swadaya dan menjadi wadah bagi sineas lokal yang berpotensi.

Ruang putar dengan kapasitas kecil atau mikro sinema sudah mulai hadir di Indonesia sejak tahun 2000-an, memutar beragam film berkualitas yang telah dikurasi seperti Kineforum yang terletak di komplek Taman Ismail Marzuki, Kinosaurus, Paviliun 28, Cine Space, hingga Cafe Society Cinema yang biasa memutar filmnya di Ruang Mes 56 atau Sekretariat FFD Yogyakarta, serta Indicinema di Bandung. Nadya Gayatri, pengelola Kinosaurus, menuturkan bahwa memang seharusnya ada diversifikasi bioskop, termasuk bioskop yang memutarkan film-film di luar studio besar, karena film itu sendiri memiliki banyak macamnya. Bioskop alternatif hadir untuk memfasilitasi film yang belum berkesempatan tayang di bioskop jaringan.

Bioskop alternatif hadir untuk memfasilitasi film yang belum berkesempatan tayang di bioskop jaringan.

Pada Februari 2021, Kinosaurus mulai menjalankan mikro sinema dalam format digital dengan meluncurkan Kinosaurus Virtual Cinema untuk menjaga semangat para penggemar sinema sekaligus mendukung kelangsungan karya pembuat film lewat penguatan ekonomi bersama. Nadya bercerita bahwa format digital memperluas akses film-film Kinosaurus sehingga bisa dinikmati di seluruh Indonesia sekaligus merespon para filmmaker dimana tidak semua film yang sudah diproduksi, yang merupakan film pendek, dapat berpindah ke layanan streaming mainstream. Dengan sistem Video on Demand (VOD), penonton membayar per film, berbeda dengan sistem subscription yang digunakan oleh layanan Over the Top (OTT) media service seperti Netflix dan Viu.

Nadya menjelaskan, tantangan Kinosaurus selama pandemi adalah beban operasional dan pengelolaan usahanya yang independen dan nonprofit. Kinosaurus berharap virtual cinema dapat terus berjalan sebagai pelengkap, bukan substitusi. Tiap bulannya, virtual cinema akan memutar film yang berbeda dan penonton dikenakan tarif donasi.

Pembuatan Kinosaurus Virtual Cinema sendiri tantangannya yaitu terkait teknis yang menyebabkan eksekusi menjadi lebih lama karena harus mempertimbangkan keamanan sekaligus kemudahan penggunaan atau user friendly. Penting sekali bagi industri film untuk menggunakan platform yang secure. Kemudian soal mengedukasi penonton, misalnya terkait sistem dan harga.

Penting sekali bagi industri film untuk menggunakan platform yang secure. Kemudian soal mengedukasi penonton, misalnya terkait sistem dan harga.

Beralih ke digital merupakan peluang menjanjikan sebagai strategi hadapi pandemi. Semakin banyak pula sektor film maupun seni yang menggunakan teknologi. Namun, migrasi menuju digital sepenuhnya belum bisa diprediksi. “Semua masih mencoba. Belum tau bagaimana kondisinya ke depan karena hal ini bukan cuma kami sebagai exhibitor, namun juga apakah filmmaker akan menaruh filmnya di digital semua.” jelas Nadya. Exhibitor sebetulnya berperan dua arah dimana mereka memerlukan film dari filmmaker untuk dinikmati penonton dan sebaliknya, filmmaker perlu penonton untuk filmnya.

Selain memanfaatkan digital platform, agar bisnis tetap sustain dan relevan, Kinosaurus berusaha untuk terus menyelenggarakan program secara konsisten dalam segala situasi. Serta membangun komunitasnya, baik dengan penonton maupun sesama industri film. Caranya dengan berusaha untuk mengakomodir keinginan penonton, menyelenggarakan workshop dan diskusi yang atraktif, serta membuat screening khusus untuk para penonton yang sudah loyal.

Nadya berharap bioskop alternatif kedepannya bisa berjalan lebih sustain, memperoleh dukungan baik dari penonton maupun filmmaker. “Lebih banyak yang bisa nonton dan [orang] lebih menghargai menonton legal dengan cara-cara yang kami lakukan dan upayakan. Lebih didukung oleh filmmaker juga untuk memutar filmnya ke ruang putar seperti kami, jadi kami punya kesempatan di luar eksibisi jaringan dan platform OTT besar.” Kinosaurus juga berharap tetap bisa membuat program yang relevan bagi penonton dan industri serta bagaimana membaca hal ini dalam kesenian dan kebudayaan, maupun secara ekonomi.

Previous
Previous

Masa Depan Kita Berada Di Tangan Para Kreator

Next
Next

Kenapa Banyak Brand Tutup Toko di Indonesia?