Tarum: Warna Warni Alam
Berawal dari keresahan akan limbah pabrik yang mencemari lingkungan, I Made Andika Putra dan kakaknya – I Made Arsana Yasa, mencoba mencari solusi untuk industri pencelupan kain yang berkelanjutan namun masih dapat memberikan warna yang menawan.
“Dulu kakak saya bekerja untuk workshop pencelupan kain di Kerobokan milik pengusaha Jepang.” Ungkap Andika membuka percakapan. Siang itu, ia baru saja selesai melayani kliennya – seorang peselancar berdarah campuran Brazil-Jepang – yang tengah merencanakan koleksi baru untuk brand-nya di workshop Tarum milik Andika dan kakaknya ini. “Tapi dulu dia melihat limbah dari workshop itu begitu banyak dan mencemari sungai-sungai di sekitarnya karena berbahan kimia.” Tambah Andika.
Pada tahun 1998, sang kakak yang semakin resah dengan pewarnaan kain menggunakan bahan kimia mulai bereksperimen dengan menggunakan pewarna alami. Andika yang saat itu masih duduk di bangku SMA pun turut membantu dengan mengumpulkan berbagai bahan-bahan alam. “Awalnya kami belum tahu apa-apa mengenai pewarnaan alam ini. Semuanya hanya berangkat dari keberanian saja. Kami belajar otodidak.” Aku Andika. Empat tahun lebih mereka habiskan untuk mendapatkan formula yang tepat. Bukan hanya untuk menemukan campuran warna yang pas, namun juga menemukan bahan pewarna yang berkelanjutan.
Di awal mulanya, Andika dan sang kakak bereksperimen dengan berbagai macam bahan mulai dari akar pohon, batang kayu, buah-buahan, bunga, hingga dedaunan. Namun karena perjalanan mereka dalam menemukan metode pewarnaan alami tersebut berangkat dari misi untuk memperbaiki lingkungan hidup, mereka pun sepakat untuk memilih bahan yang paling sustainable: daun. Menurut Andika, penggunaan daun tidak merugikan lingkungan sekitar karena tidak berebut dengan petani, tidak semua jenisnya dimakan hewan, dan tidak digunakan untuk kepentingan lain seperti bunga yang digunakan untuk sembahyang oleh umat Hindu di Bali.
“Daun yang dipakai saat ini antara lain daun ketapang untuk warna hitam, daun manga untuk warna kuning, daun mahoni untuk warna cokelat, dan daun tarum (indigo) untuk biru.” Jelas Andika sambil membuka jendela ruang kerjanya dan menunjuk ke halaman luas di area workshop yang dipenuhi beberapa jenis pohon. “Dulu kami pernah juga menggunakan daun waru, namun ternyata daun itu adalah pakan kambing, jadi kami berhenti menggunakannya.” Lanjutnya.
Andika mengakui, warna yang dihasilkan dari daun memang kurang kuat dibandingkan zat pewarna yang berasal dari kayu atau akar. Namun ia kembali lagi pada prinsip sustainability yang dipegang teguh. “Kalau menggunakan kayu atau akar, pohonnya pasti harus ditebang. Sedangkan daun akan berguguran dengan sendirinya untuk kemudian tumbuh yang baru.” Jelas Andika.
Perjalanan Tarum ternyata tidak semulus itu. Setelah berhasil menemukan formula pewarnaan alami, bisnis mereka belum langsung lepas landas. Satu-satunya klien pada saat itu memutuskan kontrak karena kualitas pewarnaan yang belum sempurna. Belum lagi tragedi Bom Bali di tahun 2002 membuat mereka nyaris gulung tikar karena tidak ada pembeli sama sekali. “Namun justru di saat terpuruk itu akhirnya kami lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar kembali – mulai dari bagaimana treatment untuk tekstil dengan warna alami ini hingga cara-cara menenun untuk mendapatkan kain yang sepenuhnya natural.” Kenang Andika.
Baru pada tahun 2004 lah yang kemudian menjadi turning point bagi Tarum. Mereka saat itu berpartisipasi dalam trade show di ajang Bali Fashion Week dengan memamerkan karya-karya kain yang pernah dikerjakan. “Banyak sekali orang yang datang ke booth kami dan ingin membeli. Tapi kami minta mereka untuk datang sendiri ke workshop dan melihat bagaimana proses pembuatan tekstil di Tarum. Mereka pun terkagum-kagum dengan hasil warna-warna alami ini dan banyak orang-orang dari luar Bali yang ingin menggunakan jasa kami untuk brand mereka. Beberapa bahkan berani mengontrak kami langsung untuk jangka waktu 30 tahun!” Kekeh Andika mengingat masa itu.
Sejak saat itu lah nama Tarum mulai meroket dan dikenal sebagai artisan pembuat tekstil. Untuk menyikapinya, Andika dan sang kakak pun mulai memperluas penawaran mereka dengan membuka unit bisnis baru untuk penenunan dengan mengaryakan pengrajin tenun yang tinggal di desa sekitar area workshop mereka di Gianyar.
Berbeda dengan pengrajin kain di Bali kebanyakan yang masih banyak didominasi oleh pengrajin tradisional, desain kain-kain Tarum sudah lebih kontemporer dilihat dari motif, teknik pewarnaan, dan material yang digunakannya. “Saya pernah memberikan masukan kepada teman-teman pengrajin kain tradisional di Bali dan Nusa Tenggara untuk mencoba keluar dari pakem-pakem lama dan bereksperimen dengan memasukan unsurn modern.” Ungkapnya. Namun menurut Andika, rata-rata pengrajin tradisional masih sulit untuk bereskplorasi karena enggan mencoba sesuatu yang baru dan keluar dari zone nyaman mereka.
Andika kemudian beranjak dan mengambil sesuatu dari dalam lemari yang kemudian kami ketahui sebagai ‘kain reject’. Teknik untuk membuat kain dengan menempelkan daun secara langsung ke kain dan menransfer warnanya dengan cara di-steam ini mereka temukan di tahun 2007 namun karena terkendala dana untuk membuat alatnya, baru dapat disempurnakan pada beberapa tahun terakhir. Namun perjuangan Andika dan sang kakak tak sia-sia karena inovasi tersebut berhasil memenangkan Best Prize in Textiles pada Inacraft 2015.
Saat ini, lebih dari setengah hasil produksi Tarum diekspor ke pasar internasional untuk jenama terkemuka di Jepang, Singapura, Australia, Belanda, Swedia, Jerman, hingga Amerika Serikat. Bahkan cult brand asal Perancis, Pigalle mengambil bahan bakunya dari Tarum hampir dalam setiap koleksinya. “Stephane (Ashpool) datang sendiri ke workshop dan bersama-sama kami mendevelop motif eksklusif untuk Pigalle.” Ujar Andika.
Berbicara mengenai desain untuk kainnya, saat ini hampir 70 persen desain yang diproduksi merupakan kreasi in-house Tarum. Sementara sisanya adalah desain pesanan klien yang diproduksi eksklusif bagi mereka.
Perjalanan Andika bersama Tarum masih belum selesai. Ia masih terus menyempurnakan kain-kain produksi workshop mereka. Menurut Andika, tantangan terbesar bagi Tarum adalah untuk mendapatkan warna yang pas dan desain baru yang menarik. “Konsumen lokal itu mudah bosan dengan motif, pasti selalu minta yang baru. Jadi kami harus terus berinovasi – itu yang bikin pusing.” Ungkap Andika sambil tertawa. Untuk itu semua, secara rutin Andika membaca trend forecasting terutama untuk mengetahui warna. “Bahkan kami sudah men-develop warna untuk dua tahun mendatang dari saat ini.” Ungkapnya menutup perbincangan sore itu.