Meliantha Muliawan: Memberi Nyawa pada Benda
Keberadaan kita sebagai manusia yang hidup di bumi, di zaman modern, tidaklah terlepas dari wujud benda mati yang membantu kita mengerjakan berbagai macam pekerjaan, aktivitas sehari-hari. Tanpa sadar sebenarnya benda-benda ini juga berevolusi, bertumbuh bersama pemikiran dan usia kita. Namun tanpa sadar pula kita sering tidak mengindahkan kehidupan mereka. Bahkan tidak jarang kita memperdaya mereka semata-mata sebagai benda mati saja. Padahal manusia menciptakan benda mati untuk memudahkan hidup di lingkungan perkotaan yang begitu dinamis.
Terinspirasi dari eksistensi benda yang sifatnya sudah mulai berubah dari era analog ke digital, Meliantha Muliawan, seorang seniman muda lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pun mencoba menyebarkan makna lebih dalam tentang kebendaan. Seperti yang ditampilkannya di Ruang Rubanah, seniman yang akrab disapa Meli ini menjelaskan bahwa presentasi benda-benda yang dipilihnya membentuk sebuah instalasi seni bukannya tanpa alasan, “Benda-benda yang aku hadirkan di Ruang Rubanah ini secara tidak langsung merepresentasikan perubahan baik dan buruk era digital. Kita sering merasa benda-benda digital yang dimiliki saat ini dapat membuat aktivitas kita lebih mudah, menyederhanakan kehidupan. Padahal dalam pikiran dan alam bawah sadar tidaklah demikian. Contohnya saat melihat waktu pada jam tangan kita akan melihat waktu sebagai waktu. Sedangkan saat melihatnya pada layar selular kita tidak lagi sekadar melihat waktu. Waktu sudah bercampur dengan notifikasi aplikasi dan lain-lain. Pikiran kita pun bercampur dan membuat kita tidak lagi melihat waktu sebagai waktu hingga lupa akan esensi waktu tersebut. Dengan melihat waktu pada jam –sesuatu benda yang nyata berfungsi sebagai kebutuhan, meningkatkan kesadaran kita akan waktu bahkan bisa membuat kita lebih tenang. Keberadaan kita benar hadir di waktu tersebut, tidak dikejar dan mengejar.”
Kita sering merasa benda-benda digital yang dimiliki saat ini dapat membuat aktivitas kita lebih mudah, menyederhanakan kehidupan. Padahal dalam pikiran dan alam bawah sadar tidaklah demikian.
Dalam proyek untuk Ruang Rubanah ini Meli mengambil tema “Pekerjaan” dengan menghadirkan benda-benda yang sering digunakan pada era orang tua kita. Sebelum barang elektronik “menjajah” kehidupan, masyarakat bekerja dengan sejumlah benda berwujud nyata. Contohnya post-it. Meski sampai sekarang masih sering ditemukan tapi banyak orang lebih memilih untuk menggunakan post-it digital – menuliskannya di laptop. Begitu juga dengan telepon yang sekarang sudah beralih ke telepon genggam. Para pekerja yang dulu lebih banyak menggunakan kemeja formal kini memilih kaos. Bahkan di banyak bidang pekerjaan sekarang memperbolehkan tidak menggunakan sepatu formal atau hak tinggi. Suasana pekerjaan kini lebih cair, lebih fleksibel. Benda-benda yang dipresentasikan di sana pun berasal dari pengamatan Meli terhadap orang tua dan pamannya di kala bekerja kantoran. Mengamati siaran televisi. “Aku tidak tahu hidup sebagai pekerja kantoran pada umumnya di kehidupan korporat itu seperti apa sehingga aku menaruh perspektif tentang pekerja kantoran purna waktu lewat benda-benda lawas tersebut. Tidak lain juga supaya kita ada refleksi apa sih yang kita lihat dari sebuah pekerjaan di zaman dulu lewat benda-benda tersebut. Untuk membandingkan apakah fungsi dan pemikiran kita tentang benda tersebut sama.” Papar Meli lebih lanjut.
Sang seniman muda pun berharap instalasi seni di dalam Ruang Rubanah dapat mengistirahatkan sejenak pikiran para pekerja. melihat benda-benda yang dipajang ini audiens seakan-akan termenung. Sama seperti ketika sedang bekerja pasti ada freeze moment yang membuatnya tidak memikirkan apa-apa. Bisa karena sedang tidak memiliki inspirasi saat bekerja atau sedang jenuh. Momen bengong ini yang ingin dipertegas oleh Meli bahwa saat bekerja banyak orang selalu mengikuti waktu yang terus berjalan, waktu mengejar deadline, waktu bekerja dari 9 pagi ke 5 sore. Jadi instalasi ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk beristirahat dari pekerjaan. Setiap benda dalam instalasi merupakan benda-benda di sekitar kita yang menurut Meli tidak secara alami terbentuk. Jelas Meli, “Setiap benda diciptakan berdasarkan alam bawah sadar, tujuan, ketertarikan atau bahkan masalah kita. Aku ingin membawa konteks baru ke benda yang amat biasa itu agar audiens bisa berpikir kalau sebenarnya benda di sekeliling kita bermakna. Sekarang kita masih bisa melihat keberadaan nasi kuning tapi bisa aja 10 tahun lagi nasi kuning punah. Bisa berarti masakan indonesia tergantikan dengan masakan barat. Aku ingin menyampaikan bahwa ternyata setiap benda di sekeliling kita berunsur politik dan kesejarahan yang membentuk lingkungan dan kehidupan kita.” Pengaturan ini dibuat untuk merespon kehidupan pekerjaan juga merespon ruang rubanah. Dibanding ruang lain ruang rubanah cukup unik karena lokasinya di bawah tanah. Langit-langitnya rendah tapi luas yang justru melahirkan banyak kemungkinan menorehkan karya. Letaknya yang di tengah ibu kota pun menjadi sebuah satu kesatuan dengan tema yang diangkat.
Berpartisipasi dalam Art Jakarta 2019, Meli pun tetap kuat dengan karakter berkeseniannya. Berada di bawah naungan galeri seni CG Artspace, dia akan menghadirkan sebuah karya lukisan acrylic dengan konsep still life di mana jenis lukisan ini menampilkan benda-benda dalam bingkai lukisan. Jenis lukisan yang melihat benda sebagai benda. Fungsi satu benda menjadi benda itu sendiri. Di lukisan ini Meli hendak membandingkan sifat benda di zaman dahulu dan zaman sekarang. Menurutnya dulu masyarakat menilai benda sebagai obyek – jika apel, ya berarti apel. Tapi sekarang masyarakat menambahkan sifat benda tersebut dan menilainya sebagai sebuah item yang memiliki harga dengan penambahan label atau merek. Sehingga kini seakan-akan satu benda dengan benda lainnya memiliki nilai yang berbeda karena labelnya berbeda padahal fungsinya sama. Itulah yang menurut Meli memperlihatkan sifat manusia yang sering membuat benda menjadi lebih kompleks entah tujuannya untuk menjual atau untuk mengistimewakan. Membuat rumit hal yang sebenarnya simpel. Dia ingin menunjukkan perlakukan terhadap benda zaman dulu dan sekarang berbeda.
Kini seakan-akan satu benda dengan benda lainnya memiliki nilai yang berbeda karena labelnya berbeda padahal fungsinya sama.
Memang, setiap karya yang diangkat olehnya terlihat penuh refleksi dan interpretasi. Setiap karyanya juga terlihat berkaitan satu sama lain dengan subjek kebendaan yang selalu diangkatnya. Buah pikir akan subjek tersebut tidak semerta-merta melintas begitu saja melainkan dengan proses kreatif yang cukup panjang. Dia menyebutkan latihan adalah kunci utama dalam menerbitkan sebuah ide kreatif. “Semua profesi (tidak hanya seniman) rasanya selalu melalui proses yang sama. Faktanya bakat tidak berpengaruh 100% dalam pekerjaan. Yang amat berpengaruh adalah latihan dan kerja keras. Sedari di bangku kuliah aku sudah ditempa dengan deadline ketat membuahkan sebuah karya seni. Ini adalah awal latihanku hingga akhirnya sekarang pikiranku terus mencari kemungkinan mewujudkan ide menjadi karya seni. Sampai akhirnya aku percaya apa yang aku lihat akan suatu benda akan lain dengan orang lain. Dalam menyampaikan karya seni tersebut pun faktor audiens amatlah penting. Untuk membahasakan karyaku pada audiens aku perlu menjadi audiens. Caranya adalah dengan ikut mengapresiasi karya orang lain, datang ke pameran, ngobrol dengan seniman dan audiens lain. Ini tidak lain menjadi latihan untuk membuat karya yang dapat dinikmati publik. Bukan sebagai fokus mengikuti selera publik tapi latihan untuk menyampaikan pesan. Dengan demikian aku pun dapat menilai sendiri seperti apa karya yang baik yaitu sebuah karya yang disampaikan dengan berbagai kemungkinan namun tidak dapat disampaikan orang lain. Karya yang berbeda.” Pungkasnya.
Manusia sering membuat benda menjadi lebih kompleks entah tujuannya untuk menjual atau untuk mengistimewakan. Membuat rumit hal yang sebenarnya simpel.