Beauty in Diversity: Gelombang Inklusivitas di Industri Kecantikan
Awal Februari lalu, brand kosmetik Dear Me Beauty menampilkan post Instagram untuk varian produk foundation baru mereka dengan model seorang pria paruh baya. Tidak lama setelah itu, post tersebut dibanjiri oleh respon positif, hingga di-repost oleh sejumlah media dalam waktu cepat. Banyak yang kemudian memperkirakan apakah Indonesia siap menerima produk kecantikan genderless?
Dear Me Beauty bukan yang pertama menampilkan iklan kosmetik yang didominasi pasar perempuan dengan model laki-laki di Indonesia. Di tahun 2018, brand Rollover Reaction pun pernah menampilkan model laki-laki untuk promosi produk terbaru mereka, Browcara in Clear – translucent brow mascara. Akan tetapi, tiga tahun lalu, antusiasme orang akan postingan tersebut belum begitu besar. Bahkan beberapa komentar pun mempertanyakan pemilihan laki-laki sebagai model untuk campaign kali itu.
Industri kecantikan memang identik ditujukan untuk perempuan. Tapi, pelan-pelan anggapan ini mulai berubah. Dalam sebuah interview, Direktur Erha Clinic Indonesia, Noviana Supit, menyebutkan bila di awal berdirinya Erha Clinic di tahun 1999, pelanggannya didominasi oleh perempuan. Tapi, sekitar tahun 2012 ke atas mulai terjadi pergeseran dengan 20% pengunjung adalah laki-laki. Umumnya, keluhan pelanggan laki-laki yang datang ke kliniknya adalah karena masalah jerawat dan kebotakan rambut, meskipun ada juga yang datang untuk perawatan peremajaan kulit.
Tidak dipungkiri, kebutuhan untuk berpenampilan menarik dirasakan baik oleh perempuan dan laki-laki. Menurut Euromonitor, penjualan produk kategori beauty untuk laki-laki sendiri secara global mulai meningkat di tahun 2010, salah satunya dipengaruhi kemunculan Instagram di akhir tahun tersebut, dan berkembangnya keberadaan influencer di media yang mengutamakan tampilan visual ini.
Apa yang kita lihat dan konsumsi sehari-hari pasti membawa pengaruh pada gaya hidup. Kalau di Amerika dan Eropa, mungkin David Beckham yang berpose dengan eyeshadow hijau di sebuah cover majalah, hingga Donald Trump yang diketahui memakai concealer dinilai membawa pengaruh untuk melazimkan penggunaan makeup bagi laki-laki, di Indonesia belum tentu demikian. Tampaknya yang lebih relevan mempengaruhi di sini adalah demam K-Pop, yang kebetulan mulai naik juga di tahun yang sama dengan munculnya Instagram, di tahun 2010. Dengan adanya peningkatan penayangan seri drama Korea hingga tiga kali lipat di stasiun TV lokal di tahun 2010, hal ini kemudian membawa dampak pada populernya penggunaan skin care, baik untuk perempuan maupun laki-laki, agar memiliki tampilan kulit flawless.
Tentu saja pengaruh K-Pop bukan satu-satunya hal yang menyebabkan fenomena ini. Secara global pun, banyak faktor yang mempengaruhi sejumlah beauty brand untuk kemudian mulai mengeluarkan produk bagi laki-laki, mulai dari Pond’s yang meluncurkan produk Pond’s Men di Indonesia tahun 2013, hingga Chanel dengan lini makeup Boy de Chanel yang dirilis pertama kali tahun 2018 di Korea Selatan.
Kalau diperhatikan, praktis dan fungsional adalah kata kunci untuk produk perawatan dan kosmetik yang menyasar laki-laki ini, sebab alasan penggunaan produk ini umumnya untuk memiliki tampilan kulit yang lebih sehat dan menutup kekurangan pada bagian wajah. Jadi, umumnya rangkaian produk yang ditawarkan pun variannya berkisar pada skin care, foundation, concealer, hingga maskara berwarna transparan.
Praktis dan fungsional adalah kata kunci untuk produk perawatan dan kosmetik yang menyasar laki-laki, sebab alasan penggunaan umumnya untuk memiliki tampilan kulit yang lebih sehat dan menutup kekurangan pada bagian wajah.
Dengan makin banyaknya pilihan produk perawatan tubuh dan kosmetik yang khusus menyasar laki-laki, yang menarik adalah, makin ke sini, justru produk kosmetik dan perawatan wajah genderless menjadi makin digemari. Laporan dari Euromonitor menyebutkan terdapat penurunan penjualan produk grooming untuk laki-laki di Korea Selatan tahun 2019, karena konsumen mulai mengalihkan fokus pembelian dari produk yang ditargetkan untuk laki-laki, ke produk alternatif. Misalnya, daripada membeli produk post-shave, mereka memilih membeli skin care yang sama-sama memiliki fungsi melembabkan dan meredakan iritasi pada kulit.
Makin ke sini, justru produk kosmetik dan perawatan wajah genderless menjadi makin digemari.
Fenomena ini sebenarnya adalah kesempatan yang bisa ditangkap oleh brand di sektor kecantikan, di mana mereka dapat menjangkau konsumen yang lebih luas lagi dari sebelumnya. Salah satu caranya adalah dengan memposisikan serta mengkomunikasikan kalau produk mereka dapat digunakan baik untuk perempuan maupun laki-laki melalui penggunaan figur laki-laki dalam campaign atau iklan mereka. Misalnya saja, seperti yang dilakukan brand Mad For Makeup, Base, For Skin Sake, dan Hale, dalam postingan mereka di Instagram akhir-akhir ini.
Narasi pemasaran produk kecantikan di tiap negaranya memang belum tentu sama karena pasti akan menyesuaikan dengan konteks budaya atau isu yang tengah berkembang di masyarakatnya. Kalau di Indonesia produk genderless dalam industri kecantikan tengah mendapat perhatian, di negara lain tentu berbeda. Misalnya di Amerika dan Eropa, yang saat ini tengah naik adalah brand kosmetik serta produk perawatan tubuh yang berfokus untuk orang kulit hitam semenjak gerakan Black Lives Matter ramai disuarakan sejak tahun 2020 kemarin.
Kalau disimpulkan, inklusivitas menjadi garis besar tren yang ada untuk industri kecantikan saat ini, dan juga ke depannya. Definisi “cantik” bukan lagi terpatok pada standar kecantikan tertentu seperti kulit putih, tubuh ramping, rambut lurus, dan lainnya, tapi bergeser pada penerimaan akan keunikan diri setiap individu. Kecantikan jadi bukan lagi soal estetika, tapi self awareness. Dan, pada tingkat emosional yang kuat, dianggap cantik atau menarik di saat ini berarti diterima dalam percakapan budaya. Entah menjadi wajah sebuah brand atau jadi target dari sebuah iklan, dua-duanya memilki arti kalau kita “diinginkan, dilihat, dan diterima”.
Kalau disimpulkan, inklusivitas menjadi garis besar tren yang ada untuk industri kecantikan saat ini, dan juga ke depannya.
Brand kecantikan pun lantas diharapkan dapat lebih inklusif atau merangkul lebih banyak konsumen lagi dengan menyediakan produk yang dapat diterima untuk siapa saja. Dimensi cakupannya pun luas. Tidak hanya sekadar produk itu dapat digunakan lintas gender, namun juga cocok digunakan untuk beragam warna kulit dan jenis rambut, hingga lintas generasi – iya, kini orang lanjut usia (di atas 60 tahun) pun mulai menginginkan produk yang “ramah” untuk mereka.
Tidak hanya sekadar produk itu dapat digunakan lintas gender, namun juga cocok digunakan untuk beragam warna kulit dan jenis rambut, hingga lintas generasi.
Selama ini mungkin lebih banyak brand yang menyasar mereka yang berada di usia produktif karena berpikir bahwa pangsa pasar di usia ini adalah yang terbesar. Tapi, laporan dari WHO menyebutkan secara global, jumlah orang lanjut usia di atas 60 tahun tumbuh lebih cepat daripada mereka yang berusia lebih muda, terutama di negara berkembang. Prediksinya, di tahun 2030, 1 dari 6 orang di dunia adalah para lanjut usia ini. Dan, generasi lanjut usia yang mulai ada saat ini dan pasti akan lebih banyak ke depannya, memiliki karakteristik yang agak berbeda dari generasi nenek kakek kita dahulu. Orang lanjut usia kini tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan. Jadi, kalau dalam iklan, produk yang menyampaikan pesan bila konsumen yang lebih tua ini bisa “mengatur” hidup mereka sendiri, adalah apa yang mereka cari dan hargai.
Kalkulasi singkat, 10 sampai 20 tahun lagi, mereka yang berusia di atas 60 tahun adalah para Gen X atau bahkan Milenial di saat ini yang sudah terbuka pada teknologi, sosial media, dan kemungkinan pada saat lanjut usia nanti, masih aktif berkarya. Terbayang bukan, bagaimana potensi pasar di usia lanjut ini nantinya? Produk kosmetik dan perawatan tubuh yang praktis, anti aging, sesuai dengan kondisi kulit orang lanjut usia, dan pastinya dikemas dalam branding serta kemasan design-y, bisa dibilang kemungkinan akan banyak dicari. Oleh karenanya, brand lokal seperti Dear Me Beauty dan Rollover Reaction pun sedari sekarang mulai menampilkan profil konsumen yang berusia lebih senior dalam tampilan foto iklan produknya.
Beauty in Diversity. Siapa saja ingin berpenampilan menarik. Dengan narasi komunikasi dan desain yang tepat, bila sebuah brand bisa menjangkau lebih banyak konsumen dengan biaya yang relatif sama untuk suatu produknya, mengapa harus membatasi diri?