Aco Tenri: Menemukan Diri Dalam Film
Lahir dari keluarga yang berkecimpung di industri film dan televisi membuat Aco Tenriyagelli – yang akrab disapa Aco – ini jatuh cinta pada perfilman sejak dini. Aco kecil yang sering mendatangi lokasi syuting tempat ayahnya bekerja menjadi terbiasa dengan lingkungan tersebut. Belum lagi ditambah kebiasaannya membaca buku-buku tentang film dan berada di sekitar teman-teman ayahnya yang kebanyakan dosen-dosen IKJ (Institut Kesenian Jakarta – red.) semakin memupuk mimpinya untuk menjadi seorang sutradara film.
“Dulu waktu sekolah, berasa paling keren kalau ditanya cita-citanya aku pasti menjawab ‘director’. Teman-teman sekitar nggak ada yang mengerti.” Ungkap Aco mengingat masa kecilnya. Dengan tekad yang bulat, Aco memastikan diri untuk menempuh pendidikan di IKJ selepas SMA. Karena itu, menurutnya ia menghabiskan masa sekolah dengan lebih santai dan justru lebih banyak mengulik seluk-beluk dunia film.
Menjadi sutradara film memang telah menjadi niat sejak awal setelah melihat bagaimana ayahnya bekerja. Baginya menjadi sutradara merupakan pekerjaan yang menyenangkan karena di lokasi syuting ia hanya perlu duduk, menonton, dan berteriak “action” dan “cut” saja. Setidaknya itu yang ada di pikiran Aco kecil.
Imaji mengenai betapa menyenangkannya menjadi sutradara seketika buyar saat Aco pada akhirnya menjalani pendidikan formal di bidang perfilman di IKJ. Untuk dapat mengambil major di penyutradaraan, kampusnya mensyaratkan penilaian sempurna untuk semua mata kuliah. Persaingannya pun begitu ketat. Tekanan besar tersebut pun sempat menyurutkan niat Aco.
Ia yang tengah dilanda tekanan jadi mempertanyakan diri sendiri; “pantaskah aku menjadi seorang sutradara?” Aco pun berhadapan pada dilema untuk beralih menjadi penulis, produser, atau tetap berusaha menjadi seorang sutradara. Beruntung ia bertemu seorang mentor yang mengingatkan pada niatnya dan mengarahakan kembali untuk berjuang. Adalah Yandy Laurens, sosok mentor yang mungkin dapat dibilang paling berjasa bagi Aco karena menyalakan kembali semangatnya untuk menjadi sutradara film.
Selain menyelamatkan di tengah kegundahan, Yandy juga lah yang mulai memperkenalkan Aco dengan banyak orang di industri mulai dari pasangan Gina S. Noer dan Salman Aristo, hingga kemudan bergulir sampai Shanty Harmayn dan orang-orang hebat lainnya di industri film.
“Ada satu momen di saat bangun tidur, aku membuka Whatsapp dan menyadari bahwa aku bisa dekat dengan nama-nama besar di industri. Aku merasa sangat beruntung sekali.” Ucapnya bangga.
Lepas dari satu dilema, Aco masih pula dihadapkan pada persimpangan lainnya. Saat semester terakhir yang seharusnya digunakannya untuk membuat film tugas akhir sebagai syarat kelulusan, datanglah tawaran untuk workshop di Italia karena salah satu filmnya terpilih dalam program Cinemadamare. Untungnya lingkungan sekitarnya mengingatkan bahwa tugas akhir dapat ditunda namun kesempatan belajar di luar negeri seperti itu mungkin tidak datang dua kali.
Aco akhirnya memutuskan untuk menunda tugas akhir dan menghabiskan satu semester di Italia. Sepulangnya, niat Aco untuk melanjutkan kuliah lagi-lagi harus terganggu karena ia mendapatkan beasiswa dari VŠMU (Academy of Performing Arts in Bratislava) di Slovakia untuk satu semester. Hasilnya? Tanpa disadari ia pulang ke tanah air dengan beragam portofolio yang dianggap baik oleh banyak produser dan membawanya pada berbagai tawaran proyek penyutradaraan musik video, iklan, dan berbagai film pendek, yang terekskalasi terus hingga kini.
Meskipun sosoknya cukup akademis – dengan terus-menerus belajar di sekolah-sekolah film – Aco sendiri merasa untuk menjadi pekerja film tidak harus melalui sekolah perfilman. Baginya yang terpenting untuk dimiliki calon-calon sineas adalah kemauan belajar dan cara mendapatkannya bisa melalui banyak hal. “Di luar film school ada banyak workshop, laboratorium, dan festival yang programnya sangat menarik dan bisa dimanfaatkan untuk belajar. Tapi kalau ada kesempatan sekolah film, baiknya diambil.” Ungkapnya.
***
Sebagai salah satu sineas generasi baru, menurutnya ada beberapa tantangan besar yang dihadapi. Pertama adalah untuk memiliki lingkungan yang sehat. Baginya, lingkungan yang sehat adalah circle orang sekitar kita yang terbuka untuk diskusi, tidak melulu bicara tentang uang, dan memberikan kita kesempatan untuk tidak takut melakukan kesalahan. Ia juga menambahkan, ”Intinya adalah orang sekitar yang bikin kita nggak ragu untuk ngelempar ide-ide gila dan mereka juga harus jujur dan terus men-challenge ide kita. Itu yang paling susah.” Karena menurutnya banyak lingkungan yang selalu bilang ide kita bagus, padahal penting untuk punya lingkungan yang kritis sehingga kita tidak selalu puas pada ide pertama.
”Banyak lingkungan yang selalu bilang ide kita bagus, padahal penting untuk punya lingkungan yang kritis sehingga kita tidak selalu puas pada ide pertama.”
Untuk Aco, lingkungan sekitar memang menjadi hal paling mendasar. Ia sendiri mengakui bahwa dirinya termasuk orang yang memilih-milih lingkungan dalam produksi atau membuat sesuatu. Oleh karenanya menjadi penting bagi dirinya sebagai sutradara mendapatkan produser yang memahami visi dan apa yang mau ia buat. ”Buatku sebenarnya komersialisme dan idealisme bisa beriringan, kok. Sejauh ini aku cukup beruntung bertemu produser yang menawarkan untuk bisa berjalan di tengah – komersial tapi tetap dengan gayaku. Tawar menawar yang sehat tuh jadi penting. Dan nggak perlu memaksakan juga sih kalau dirasa nggak pas.” Pungkasnya.
Tantangan lain yang juga menurutnya cukup penting untuk dipikirkan adalah generasi sineas saat ini telah dipermudah dengan teknologi yang lebih canggih. Jika dahulu sutradara harus bisa mengatur proses syuting dengan sangat efektif karena film direkam menggunakan seluloid yang mahal, sekarang dengan mudahnya mengulang-ulang proses produksi karena semuanya serba digital. Namun kemudahan-kemudahan ini menurutnya justru membuat generasi baru menjadi kehilangan kedisiplinan.
***
Berbicara mengenai proyek-proyeknya, Aco merasa “We Have No Idea” yang ia produksi di 2018 menjadi salah satu film penting bagi dirinya. Sepulang dari Italia dan Slovakia, ia merasa terbebani dan malah kontra produktif selama satu tahun dengan tidak membuat apapun. “Menulis aja sulit. Aku tuh kayak terkurung dengan apa yang aku tahu.” Katanya menjelaskan situasi yang dihadapi saat itu. “Akhirnya aku ngobrol sama sahabatku Rachel Amanda dan semuanya ‘meledak’ di film itu.” Lanjutnya.
Film “We Have No Idea” akhirnya ia buat dengan melupakan segala teori perfilman yang membuatnya terbebani. Menurut Aco, di film itu ia hanya bersenang-senang seperti pertama kali tahu dunia film. “Filmnya bagus atau nggak? Nggak tau ya…” Ungkapnya tertawa. Apapun penilaiannya, yang terpasti film tersebut membawa Aco ke Jogja-NETPAC Asian Film Festival, ditonton oleh sineas-sineas besar seperti Angga Dwi Sasongko, Gina S. Noer, dan Salman Aristo, hingga membukakan jalan baginya masuk ke industri.
***
Saat ditanya mengenai aspirasinya, Aco menyampaikan jawaban yang cukup menarik: ia ingin menjadi sineas yang bisa membuat film yang menyelamatkan dan membantu menemukan diri sendiri. Ia berharap film-filmnya dapat menjadi saluran bagi keresahan dan kekhawatiran dalam hidup – tidak hanya baginya sebagai pembuat namun juga bagi semua penonton. “Inginnya filmku bisa membantu orang menemukan perasaan dan jalan hidupnya.” Ujarnya menutup percakapan.
“Inginnya filmku bisa membantu orang menemukan perasaan dan jalan hidupnya.”