Abenk Alter: Membentuk Identitas Diri Lewat Seni
Passion seseorang tidaklah datang begitu saja. Dibutuhkan waktu dan proses yang membentuk setiap pengalaman menjadi sebuah keyakinan bahwa itulah keinginan terbesar dalam hidup. Tak beda dengan Abenk Alter, seorang seniman yang namanya sudah tidak asing di kancah dunia seni Indonesia. Sebelum akhirnya terjun ke dunia seni, dia tidak pernah tahu ingin menjadi apa. Bahkan terbilang Abenk bukanlah tipikal seseorang yang punya visi. Meski punya perencanaan dalam hidup namun Abenk selalu mengikuti arus hidup yang sedang dilewatinya. Contohnya saja ketika dia bergabung dalam sebuah band dan meluncurkan album. Awalnya dia tidak pernah terpikir untuk membuat band tapi ketika dia membuka pintu tersebut, dia begitu saja mengikuti alur dan menghasilkan karya yang tak pernah terbayangkan.
Begitu juga ketika dia memutuskan untuk masuk jurusan Desain Komunikasi Visual saat kuliah. Meski sedari kecil suka menggambar tapi Abenk hanya menganggapnya sekadar hobi tanpa tahu ke mana hobi itu membawanya. Tidak memiliki figur seseorang yang berkarier sebagai seniman menjadi salah satu alasan mengapa dia tidak pernah menjajaki hobinya untuk ditekuni secara profesional. Bahkan ketika lulus SMA dia sempat masuk jurusan yang amat jauh dari bayangannya. Teknik Informasi, jurusan yang akhirnya membuatnya sadar itu bukan tempatnya dan justru memberikan tanda bahwa menggambar bukan sekadar hobi. Teman-temannya seringkali bertanya kenapa dia tidak masuk jurusan desain saja. Ditambah dengan gambar-gambar lucu yang tertoreh di lembaran kertas soal selama satu setengah tahun mengenyam pendidikan teknik informasi. Sebuah keputusan besar akhirnya diambil ketika Abenk memilih pindah ke jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) walaupun saat itu yang ada di pikirannya sangat sederhana, “Yang penting gue bisa gambar.”
Terangnya, “Gue banyak belajar dan melakukan penyesuaian mulai dari gaya hingga sejarah visual sampai akhirnya lulus tepat waktu dengan nilai yang lumayan. Tapi begitu lulus gue tidak pernah kerja formal. Satu-satunya pengalaman kerja gue cuma jadi penyiar radio yang kemudian dilanjutkan dengan membuat design house bersama beberapa partner. Tapi gue memutuskan berhenti karena merasa tidak sesuai dengan kata hati gue. Dari situ pun gue kembali berpikir bahwa gue mau mengerjakan sesuatu yang merepresentasikan identitas pribadi di mana saat orang lihat mereka suka dan mau kerja sama. Dari situ akhirnya gue mulai mengulik identitas diri melalui visual dan salah satunya melalui melukis karena melukis adalah salah satu seni murni yang bebas. Karya Eko Nugroho, pelukis asal Yogyakarta, pun membuka mata gue untuk menemukan identitas diri dalam berkesenian ini.”
Titik terang pun dimulai dari 2012 di mana Abenk mulai ada pameran hingga akhirnya pada tahun 2016 dia lebih fokus pada karyanya usai menyelesaikan program pascasarjana. Selama rentang 4 tahun tersebut pun menjadi waktu yang amat penting untuk Abenk, ia mulai membangun karakter berkeseniannya. “Karena tidak ada latar belakang seni rupa jadi satu-satunya cara untuk bisa terkenal adalah karakter yang kuat. Tapi memang karakter itu tidak bisa dibuat-buat. Sampai di 2016 akhir (mungkin terbawa dari pemikiran tesis yang gue kerjakan juga) gue menemukan karakter lukisan gue yang juga berasal dari masukan teman-teman. Mereka memberi banyak ide dari beberapa seniman lain yang sekiranya sejalan. Jadi bisa dibilang karakter itu muncul secara natural dan dari situ terus gue kembangkan dan sesuaikan dengan tema atau pesan yang ingin disampaikan. Gue ingin bisa menyeimbangkan sisi komersial dan seni murni di setiap karya.” Jelasnya.
Menurutnya tidak semua seniman memiliki kesadaran atau keinginan untuk menyeimbangkan idealisme dan seni untuk kebutuhan komersial. Tapi banyak nama-nama besar yang sudah dapat menyeimbangkan kedua sisi ini. Sehingga Abenk pun mencoba untuk melakukannya juga. “Gue ingin lebih terbuka dengan idealisme dan komersialisme. Ingin eksplorasi keduanya karena menurut gue ini hanyalah soal dinamika diri kapan gue harus idealis kapan harus berpikir komersil. Kuncinya adalah bagaimana gue bisa mengelompokkan pemikiran tentang karya untuk idealisme dan untuk komersialisme. Untuk karya idealis biasanya akan lebih banyak emosi, banyak kebebasan. Sebaliknya karya yang bersifat komersil biasanya gue akan memberi lebih banyak batasan. Secara pendekatan gue akan menerapkan design thinking yang sempat dienyam di perkuliahan. Gue akan berpikir soal efisiensi bagaimana kalau karya visual yang gue buat itu mudah diproduksi, di-layout tapi gue tetap menjaga karakter “bahasa” visual khas Abenk Alter tetap hadir,” ujar seniman yang karyanya akan dipamerkan pada acara Art Jakarta di JCC Senayan pada 30 Agustus-1 September 2019 ini.
Gue ingin lebih terbuka dengan idealisme dan komersialisme. Ingin eksplorasi keduanya karena menurut gue ini hanyalah soal dinamika diri kapan gue harus idealis kapan harus berpikir komersil.
Nampaknya penjelasannya tersebut juga secara tidak langsung menarasikan gaya berkesenian Abenk. Dia menyebut bahwa tidak ingin terjebak dalam satu gaya saja namun ingin lebih mengarah ke eclectic. Abenk ingin menyerap elemen apa yang dirasa relevan dengan caranya karena dia tergolong seseorang dengan banyak kemauan dan menyukai eksplorasi dengan berbagai pendekatan, komposisi. Sehingga dia tidak ingin membatasi karyanya di arena pop art saja. Dia ingin meluaskan medium yang digunakan meski tetap mempertahankan karakternya sendiri. Itulah yang dia sebut tantangan. Tambahnya lagi, “Jika kita membicarakan tentang medium, medium itu sifatnya juga eclectic. Seperti halnya tren di era digital ini. Banyak orang menggunakan media sosial kemudian terdistraksi dengan hal-hal di luar dirinya hingga lupa karakternya sendiri lebih-lebih karena banyak pengaruh yang diserap. Gue ingin tetap bisa menjaga idealisme dan karakter gue meski menyerap banyak pengaruh. Karena pada akhirnya yang menjadi identitas seorang seniman adalah mindset.”
Pemikiran Abenk soal seni memang terbilang berevolusi. Perjalanannya menemukan apa yang diinginkan untuk dituangkan dalam karya melibatkan dialog internal. Seperti pada lukisan-lukisannya yang sempat ditampilkan di Solo waktu lalu. Abenk mengaku bahwa dia baru-baru ini menganalisa kondisi mentalnya yang mudah stres dan mendapat mental breakdown. Dari isu ini pun dia mulai melakukan riset untuk karyanya. Terdapat satu pertanyaan yang cukup bergema di dalam hatinya yakni “Apa yang bisa dikontribusikan ke masyarakat sebagai individu yang tinggal di kota urban dengan kondisi sosial seperti sekarang ini?.
Dialog tersebut juga yang akhirnya direlasikan dengan pelajaran yang dia dapatkan secara spiritual. Terangnya, “Dalam konteks spiritual berarti kita membicarakan universalitas. Tentang kemanusiaan, nilai-nilai empati, tenggang rasa, toleransi di mana kebaikan menjadi porosnya yang gue yakin semua agama mengajarkan kebaikan itu sendiri. Sehingga dalam konteks ini juga gue berusaha untuk membayangkan berbagai entitas dalam satu komposisi. Mereka berbeda-beda tapi dalam proses pengerjaannya mereka berada dalam satu komposisi. Gue ingin merepresentasikan ini sebagai bentuk harmonisasi di dalam blok-blok di masyarakat. Harmonisasi berasal dari entitas-entitas yang bertabrakan. Tidak selalu cocok tapi saat ditaruh dalam sebuah wadah mereka sangat berwarna. Kira-kira inilah yang mengilhami gue untuk membuat seri karya Flower for The Future. Sebuah seri karya tentang harmoni perbedaan.”
Lebih jauh lagi ketika ditanya soal masa depan, Abenk menjawab dengan santai bahwa dia adalah tipikal yang go with the flow. Membiarkan semuanya berjalan begitu saja tanpa terobsesi pada sebuah perencanaan. Yang terpenting untuknya adalah berkesenian harus tetap menyenangkan dan membebaskannya. Baik membebaskannya dari pikirannya sendiri, membebaskan penikmatnya untuk membuat interpretasi sendiri. Sehingga karya yang dia buat bisa berbicara dalam berbagai level. Bisa merangkul siapapun untuk membuat dialog internal, eksternal. Bisa menjadi sebuah medium mencari nafkah, eksplorasi, ekspresi, manifestasi, transendensi.