Title-Driven Marketing: Selebriti Jadi Petinggi Brand, Strategi atau Gimmick?
Dulu, selebriti hanya menjadi wajah sebuah produk. Kini, tren pemasaran semakin berubah. Bukan lagi sekadar brand ambassador, tapi selebriti kini diberi "jabatan eksekutif" di dalam brand. Contohnya seperti Troye Sivan yang menjadi Chief Vibes Officer Smirnoff, atau di dalam negeri ada Vidi Aldiano yang pernah didapuk sebagai Chief Savor Advisor Fore Coffee dan Laura Basuki yang diangkat sebagai Chief Excitement Officer Djournal Coffee. Mereka tampak seperti bagian dari C-level di brand tersebut—tapi apakah mereka benar-benar punya pengaruh dalam pengambilan keputusan, atau ini hanya strategi branding sesaat?
Tren ini dikenal sebagai title-driven marketing—strategi pemasaran di mana selebriti tidak hanya diposisikan sebagai ikon brand, tetapi juga diberikan gelar eksekutif yang terdengar penting dan eksklusif.
Brand memahami bahwa sekadar endorsement sudah tidak cukup. Konsumen semakin pintar dan skeptis terhadap promosi yang terasa terlalu dipaksakan. Maka, strategi baru pun muncul: membuat selebriti seolah-olah memiliki peran yang lebih dalam di balik layar.
Gelar seperti Chief Savor Advisor atau Chief Excitement Officer memberikan ilusi bahwa selebriti ini tidak sekadar menjadi wajah brand, tetapi juga terlibat dalam pengambilan keputusan strategis, meskipun keterlibatan mereka sering kali hanya sebatas kampanye pemasaran.
Kenapa Brand Menggunakan Title-Driven Marketing?
Memberikan Ilusi Keterlibatan Lebih Dalam
Dulu, selebriti hanya bertindak sebagai brand ambassador, tetapi kini brand ingin memberikan kesan bahwa kolaborasi ini lebih dari sekadar endorsement. Dengan memberikan gelar khusus, brand menciptakan kesan bahwa selebriti benar-benar terlibat dalam pengembangan produk dan strategi bisnis.
Memanfaatkan Kredibilitas Selebriti
Selebriti yang dipilih biasanya memiliki citra yang selaras dengan brand. Misalnya, Vidi Aldiano memang dikenal sebagai pecinta kopi, sehingga memberikan kesan lebih autentik dibanding sekadar menjadi model campaign.
Meningkatkan Relevansi di Media Sosial
Gelar eksekutif yang unik dan catchy lebih mudah viral dan menciptakan percakapan di media sosial. Saat Troye Sivan diumumkan sebagai Chief Vibes Officer, misalnya, hal ini langsung menjadi trending di berbagai platform.
–
Troye Sivan – Chief Vibes Officer, Smirnoff
Smirnoff, brand minuman asal Inggris, menunjuk Troye Sivan sebagai Chief Vibes Officer untuk kampanye global Go OFF! yang mengajak orang merayakan momen bersama. Troye Sivan tidak serta-merta membuat produk baru, tetapi perannya sebagai "Vibes Officer" menambah daya tarik kampanye ini di mata audiens muda.
Vidi Aldiano – Chief Savor Advisor, Fore Coffee
Fore Coffee menggandeng Vidi Aldiano dalam pengembangan menu, termasuk varian Crush on Fruits Series. Dengan titel Chief Savor Advisor, kampanye ini terasa lebih dari sekadar endorsement biasa, karena memberikan kesan bahwa Vidi benar-benar berkontribusi dalam produk yang dijual.
Laura Basuki – Chief Excitement Officer, Djournal Coffee
Djournal Coffee, salah satu brand kopi terkemuka di Indonesia, melibatkan aktris Laura Basuki sebagai Chief Excitement Officer. Posisi ini menempatkan Laura sebagai ikon brand yang mencerminkan keseruan menikmati kopi di tengah kesibukan urban.
–
Bagi brand, strategi ini sangat efektif dalam menciptakan cerita yang lebih kuat di balik kampanye mereka. Title-driven marketing memberikan nilai lebih dibanding endorsement biasa, karena membangun narasi bahwa selebriti benar-benar terlibat dalam brand.
Apakah Title-Driven Marketing Bisa Berhasil?
✅ Jika Selebriti Benar-Benar Terlibat
Kalau mereka ikut serta dalam pengembangan produk atau strategi marketing, gelar mereka akan terasa lebih bermakna dan autentik.
✅ Jika Brand Memanfaatkan Narasi yang Kuat
A$AP Rocky sukses dengan Mercer + Prince karena desainnya memiliki DNA dirinya. Jika brand hanya memberikan gelar tanpa storytelling yang kuat, konsumen akan sulit percaya.
✅ Jika Tidak Sekadar Kampanye Sesaat
Kolaborasi yang hanya bertahan sebentar bisa terasa gimmicky. Kalau brand ingin title-driven marketing bertahan, mereka perlu memberikan peran jangka panjang bagi selebriti.
Namun, di sisi lain, ada risiko gimmick yang terlalu berlebihan. Jika selebriti tidak memiliki keterlibatan nyata dan hanya diberi titel untuk kepentingan pemasaran, konsumen yang semakin kritis bisa melihatnya sebagai sekadar strategi branding kosong tanpa substansi.
Kapan Title-Driven Marketing Bisa Gagal?
❌ Jika Hanya Sekadar Gimmick Tanpa Peran Nyata
Jika selebriti hanya sekadar “Chief” tanpa benar-benar terlibat dalam bisnis, publik bisa merasa tertipu dan meragukan kredibilitas brand.
❌ Jika Tren Ini Terlalu Overused
Jika semua brand memakai strategi ini, eksklusivitasnya akan berkurang dan akhirnya kehilangan daya tarik.
❌ Jika Tidak Ada Keterkaitan Selebriti dengan Brand
Selebriti harus memiliki hubungan yang kuat dengan produk agar terasa autentik. Kalau tidak, ini hanya akan terasa seperti marketing yang dipaksakan.
Untuk menjaga kredibilitas, brand perlu memastikan bahwa selebriti yang mereka tunjuk memiliki koneksi yang relevan dengan brand dan benar-benar berkontribusi dalam kampanye mereka.
Tren title-driven marketing ini mungkin akan terus berkembang, terutama karena dunia pemasaran semakin berfokus pada storytelling dan keterlibatan komunitas. Selama selebriti yang terlibat memiliki nilai tambah yang jelas, strategi ini akan tetap menjadi cara efektif bagi brand untuk menarik perhatian konsumen.
Tapi kalau semua brand berlomba-lomba menciptakan jabatan palsu untuk selebriti tanpa ada keterlibatan nyata, apakah strategi ini masih akan efektif? Atau malah akan kehilangan daya tariknya seiring waktu?