Memonetisasi Karya Seni
Industri kreatif adalah salah satu sektor ekonomi yang paling cepat berkembang di dunia. Industri ini menyediakan 29,5 juta lapangan pekerjaan secara global dan menurut penelitian yang dilakukan oleh Nesta tahun 2018 di Inggris, pertumbuhan yang pesat di sektor kreatif ini diprediksi akan menciptakan satu juta lapangan pekerjaan baru di antara tahun 2013-2030, atau setara dengan 1000 pekerjaan di tiap minggunya. Di Indonesia sendiri, industri kreatif pun turut mengalami peningkatan di tiap tahunnya, baik dari segi pemain, maupun kontribusi pendapatan yang diterima negara.
Salah satu hal yang mendorong perkembangan industri ini adalah sifatnya yang pada umumnya inklusif. Semua orang dari berbagai kalangan dapat berpartisipasi dalam sektor ini baik sebagai produsen atau konsumen. Industri kreatif pun membuka lebih banyak peluang bagi anak muda dan perempuan untuk berkarya dibandingkan dengan sektor lainnya. Karenanya, tidak heran dalam sekian tahun terakhir ini, mereka yang bekerja sebagai freelancer dan membuat brand sendiri di industri ini menjadi banyak ditemui. Satu di antaranya, mereka yang memanfaatkan keterampilan mereka dalam membuat lukisan, desain, dan ilustrasi untuk menghasilkan uang dari setiap karya yang dihasilkan.
Jika dahulu sempat terdapat anggapan bila menjadi seniman tidak begitu banyak menghasilkan pendapatan hingga mungkin beberapa orangtua kurang berkenan anak-anaknya mengambil pendidikan seni atau menekuni bidang ini sebagai pilihan karir, kini anggapan tersebut telah berubah. Tidak sedikit mereka yang bekerja sebagai ilustrator atau desainer mengawali langkah dari ketertarikan mereka akan menggambar dan melukis. Inilah yang dialami oleh Kathrin Honesta, seorang ilustrator yang karyanya banyak menghiasi sejumlah judul buku. Sejak kecil ia banyak menghabiskan waktu untuk menggambar, dan terus menekuni hobinya ini hingga memiliki sejumlah portfolio yang membuka jalan untuk mendapatkan klien dan tawaran pekerjaan. Bagaimana ia lantas bisa terjun di dunia book illustration juga berawal ketika sebuah penerbit melihat karyanya dan merasa cocok dengan gaya gambar Kathrin untuk mengerjakan ilustrasi di buku yang akan mereka terbitkan. Usai pengerjaan proyek satu ini selesai dan buku diterbitkan, satu per satu penerbit buku lain pun datang menghubunginya untuk membuat ilustrasi bagi sejumlah buku lainnya.
Dahulu sempat terdapat anggapan bila menjadi seniman tidak begitu banyak menghasilkan pendapatan.
“Saranku untuk mereka yang ingin mencoba menjadi book and editorial illustrator adalah kalian coba membuat personal project terlebih dahulu yang berkaitan. Misalnya ambil artikel atau cerita yang tidak ada gambarnya, lalu buat ilustrasi dari tulisan tersebut, dan tampilkan dalam portfolio kalian. Klien akan melihat potensi kalian dari sini,” ujar Kathrin menjelaskan. “Saat kalian kemudian mendapat proyek ilustrasi editorial, kalian perlu membaca dan memahami kontennya terlebih dahulu, untuk kemudian secara kreatif mencari ide untuk menghasilkan gambar.”
Ia menyebutkan bagian paling tricky dari pekerjaanya adalah menentukan fee pengerjaan. Yang perlu diperhatikan adalah profil klien, jumlah ilustrasi yang harus dikerjakan beserta detilnya, serta aplikasi dari gambar yang dihasilkan. Kathrin memaparkan, budget yang diajukan untuk klien dari perusahaan besar biasanya perlu lebih tinggi dibandingkan untuk mereka yang skala usahanya kecil. “Misalnya antara Starbucks dan toko kopi sebelah rumah. Gambar kamu untuk Starbucks bisa ditempatkan di mana-mana, dengan banyaknya gerai mereka. Sementara bila di toko kopi sebelah, ya hanya di satu tempat saja, atau paling di social media mereka,” terangnya menjelaskan. Detil workload pengerjaan juga harus diperhatikan. Seperti jumlah banyaknya ilustrasi, seberapa besar ukuran, dan seberapa detil yang klien inginkan. Selain itu, perlu ditanyakan juga di awal pada klien, aplikasi dari ilustrasi ini akan ditempatkan di mana saja. Apakah di media sosial, dicetak, di TVC, atau lain sebagainya. Dari setiap platform yang ditambahkan, pastikan rate yang kamu ajukan untuk mencakup ini semua. Jangan sampai harga yang diajukan terlalu rendah untuk aplikasi ilustrasi yang akan diletakan di banyak tempat.
Bagi Kathrin, rate antara klien di dalam dan luar negeri agak sulit dibandingkan karena tergantung dari bidang industrinya. Untuk keperluan advertising, harga untuk pengerjaan ilustrasi di Indonesia umumnya cukup besar. Namun, untuk bidang publishing, Kathrin mengakui timpang sekali antara harga yang diajukan penerbit lokal dan luar (Eropa dan Amerika). Bayaran yang diajukan penerbit lokal cenderung minim, dengan kemungkinan hal ini terjadi dikarenakan demand untuk industri ini tidak begitu besar mengingat angka minat baca di Indonesia pun rendah. Biasanya penerbit atau klien dari luar akan mengajukan budget mereka di awal saat mengajukan kerjasama, sehingga ilustrator dapat menyesuaikan tawaran akan hasil yang diberikan. Untuk pengerjaan ilustrasi buku pun, bisa terdapat kemungkinan ilustrator mengajukan bayaran dengan sistem royalti dari setiap buku yang terjual.
Kathrin pun mengungkapkan, saat ini ada banyak sekali peluang bagi ilustrator, desainer, dan seniman untuk memonetisasi karya mereka. Selain bekerja sebagai in-house ilustrator atau desainer di perusahaan, untuk yang memilih jalur sebagi freelancer seperti dirinya, terdapat sejumlah fokus bidang yang dapat digarap. Mulai dari buku, design packaging, advertising, motion graphic, dan lain sebagainya. Mengajar dengan membuat kelas workshop maupun webinar juga dapat menjadi cara untuk menghasilkan pendapatan ekstra. Sebagai tambahan, seorang ilustrator atau desainer pun dapat mematenkan hasil karya mereka dan menjual copyright-nya bila ada brand yang ingin menggunakan hasil karyanya. “Sebagai contoh kita membuat ilustrasi pattern kain. Kita patenkan desain kita, dan setiap ada brand yang ingin pakai pattern kita, mereka harus membayar ke kita copyright-nya,” jelas Kathrin. “Menjual copyright memang masih belum populer di Indonesia, tapi di luar sudah marak. Di Indonesia yang populer adalah ilustrator atau desainer fokus di retail dengan membuat merchandise atau barang-barang hasil karyanya untuk dijual.”
Bernadet Putri, seorang ilustrator dan pattern designer yang juga memiliki brand produk akan karyanya, menyarankan apabila kita ingin mengaplikasikan karya kita pada produk, maka buatlah sesuatu yang kita akan senang dan bangga dalam memakainya. Bukan hanya sekedar membuat asal jadi saja. “Untuk karya yang diaplikasikan ke produk, proses produksi menjadi sangat penting. Kita harus benar-benar tahu bahan apa saja yang dipakai serta bagaimana kualitasnya. Dan juga, pilihlah vendor yang dipercaya untuk mengantisipasi karya kita disebarluaskan atau diplagiat,” terang Bernadet.
Awal mula Bernadet terjun ke dunia desain dan ilustrasi berawal dari dirinya yang semula banyak mengikuti lomba ilustrasi untuk memperoleh uang saku tambahan. Dari sini, portfolio yang terkumpul pun cukup banyak hingga suatu saat seseorang memintanya untuk membuat ilustrasi botani untuk undangan pernikahannya. Ciri khas ilustrasi Bernadet memanglah gambar-gambar botani. Umumnya, ia banyak mengejarkan proyek untuk keperluan pernikahan, selain fokus membuat lini produk sendiri.
Saat mengerjakan proyek pesanan, aspek yang Bernadet perhitungkan untuk menentukan besaran fee adalah waktu pengerjaan dan material yang dipakai. Paling tidak, fee yang diajukan harus bisa menutup semua biaya material dan biaya hidup selama waktu pengerjaan. “Aku membuat aturan standar seperti down payment yang harus dibayarkan terlebih dahulu oleh klien sebelum aku mengerjakan ilustrasi, batas jumlah revisi, dan selalu menuliskan bahwa aku memiliki hak untuk mengunggah setiap karyaku di Instagram sebagai bentuk portfolio,” sebutnya menambahkan. “Untuk klien dari luar negeri, biasanya aku charge paling tidak dua kali lipat harga Indonesia.”
Bernadet pun menerangkan, bila seorang ilustrator atau desainer ingin dilirik suatu galeri seni, platform atau brand, maka mereka harus terbuka dengan dunia luar seperti mendatangi sejumlah event pameran, mengikuti bazaar, hingga ikut sejumlah kompetisi ataupun submisi lainnya. Selain itu, perlu sekali untuk memiliki sejumlah portfolio yang terus diperbarui. “Sebagai seniman pastinya memiliki sisi idealismenya masing-masing. Tapi kita harus fleksibel dengan teknik dan material yang digunakan, serta tidak luput juga belajar hal lain di luar seni dan desain seperti bisnis, finance, dan marketing,” pungkasnya.
“Don’t put all your eggs in one basket,” ujar Kathrin kembali saat menutup pembicaraan. “Menjadi seorang seniman harus banyak mencoba hal baru, berkreasi, dan mencari peluang untuk dapat terus mendapat penghasilan dari berbagai tempat. Jadi, jangan hanya mengandalkan satu sumber saja agar bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kita memiliki back up untuk penghasilan kita sehari-harinya.”