Memberi Hidup Kembali Melalui Pakaian
Industri fashion kerap kali dihubungkan dengan fast fashion beserta limbah tekstil yang dihasilkan. Fast fashion artinya, memproduksi pakaian yang sesuai tren dengan harga terjangkau, dalam kurun waktu yang terbilang singkat. Tentunya, aktivitas ini menyebabkan jumlah limbah yang lebih banyak pula.
Hal ini kemudian memunculkan konsep sustainable fashion. Sustainable fashion dapat diartikan sebagai pengelolaan pakaian dengan cara yang lebih bertanggung jawab secara ekosistem maupun sosial. Seperti membeli pakaian preloved serta mendaur ulang pakaian atau kain lama.
Memberi makna baru bagi sampah kain ternyata dilakukan oleh Toko Didiyo. Founder dari brand Toko Didiyo, Nindya Kirana atau Indy menerangkan bahwa pakaian yang mereka produksi menggunakan deadstock fabric atau sisa bahan yang sudah tidak terpakai lagi dari brand-brand ternama.
“Kita itu memilih material berdasarkan dari deadstock brand-brand lokal dan brand-brand luar juga, yang sudah tidak terpakai dari supplier. Jadi beberapa supplier kita itu, punya beberapa. ‘Mbak ini ada sisa nih dari brand X’ atau ini ada sisa bahan dari brand internasional lain yang tidak dipakai lagi. Daripada kain itu dibuang, dan jadi waste, ya mendingan kita pakai aja. Toh kita juga tahu, dari brand yang sudah lumayan ada nama, berarti kan materialnya bagus,” ungkap Indy pada Geometry (29/9).
Dari deadstock tersebut, Indy dan tim menghasilkan pakaian dengan model “eksklusif” yang setelah terjual tidak akan ada lagi model yang sama. Toko Didiyo juga mengeksplor bahan lainnya. Mereka menggunakan taplak meja serta sapu tangan lawas yang lagi-lagi tidak pernah terpakai. Upcycle dari bahan-bahan ini menghasilkan pakaian-pakaian indah dan tentunya sustainable.
Tidak berhenti sampai disitu, dari sisa-sisa bahan yang terkumpul, Toko Didiyo kembali gunakan untuk membuat sebuah koleksi pakaian bernama Zero Waste. Setiap koleksi yang dijuluki ‘one pattern, one piece’ ini memunculkan peminat yang cukup banyak bagi mereka.
Dalam melakukan pendekatan pada customer, Indy mengungkapkan Toko Didiyo sangat mau mendengarkan permintaan customer untuk personalized ukuran jika hal tersebut masih memungkinkan. Melalui Toko Didiyo, Indy ingin meninggalkan pesan “give a fabric a meaning” pada para pelanggannya.
Dalam menciptakan brand yang sustainable, Toko Didiyo tidak sendirian. Brand Ensemble juga menghadirkan pakaian yang terbuat dari sisa-sisa bahan produk mereka. Kepada Geometry, founder sekaligus creative director, Bonnie Natasha Arif, mengungkapkan bahwa sejak 2017, Ensemble ingin menghasilkan pakaian secara lebih bertanggung jawab. Semua dilakukan dengan mengambil langkah kecil, dimulai dari skala produksi yang berbatas dan menyesuaikan permintaan atau demand yang masuk. Lalu pada 2019, Ensemble mulai melakukan daur ulang sisa kain untuk dijadikan tas, pouch, dan lain sebagainya.
Ensemble juga bekerja sama dengan perusahaan rintisan Pable.id sejak awal 2021 kemarin untuk mendaur ulang sisa bahan produksi. Dari sebanyak hampir 40 kg sampah kain yang didaur ulang, hasil olahan tersebut kembali digunakan oleh Ensembel. Beberapa bahan sisa lainnya kembali didaur ulang dan digabungkan dalam koleksi mereka yang dinamai Remix Collection.
“Nah, setelah itu kita juga ada another steps to be responsible, yang adalah me-upcycle plus recycle produk-produk kita. Jadi itu dia, karena kerja sama dengan Pable, consume recycle fabric dari mereka, lalu kita remix dengan upcycled fabric waste kita yang ada di studio. Dalam proses kita mengirim fabric waste kita to Pable, kan kita sortir dulu, yang kondisinya masih prima, masih baik, itu kita simpan untuk kita upcycle,” terang Bonnie.
Keunikan Ensemble terletak pada tiap pola yang digambar sendiri oleh adik Bonnie, Diva. Tentunya hal ini menambah kesan personal pada Remix Collection. Konsep patchwork, menghasilkan kumpulan perjalanan koleksi Ensemble sejak 2013 dalam sebuah pakaian, seperti jaket, dress, dan collar.
Ensemble sendiri menyasar kalangan perempuan yang sudah lebih memahami gaya personal mereka. Dengan dasar itu, Ensemble melakukan pendekatan kepada para pembelinya dengan menjadi sejujur mungkin dalam visual hingga kesehariannya yang disuguhkan melalui media sosial.